MENJADI ORANG KATOLIK YANG TRANSFORMATIF
Tidak terasa tahun 2019 telah
kita lalui. Dan kaki kita telah menapaki awal tahun 2020. Kehidupan, sebagai
anugerah Tuhan yang Mahakasih, harus terus diberi makna. Kita harus terus
melangkah seiring dengan irama bumi. Kita tidak boleh berpangku tangan. Sebab,
kata penyair Khalil Gibran, berpangku tangan akan menjadikan kita orang
asing bagi musim, sementara kehidupan terus berbaris dalam keagungan menuju
keabadian. Lalu, langkah-langkah
seperti apa yang akan kita lakukan?
Umat Katolik Keuskupan Agung Semarang
boleh berbahagia, karena dalam rangka memberi makna atas kehidupan yang terus
bergerak dalam keagungan menuju keabadian itu,
kita punya acuan yang penting dari Gereja KAS, yakni menjadi “Umat Katolik yang Transformatif”. Ini bukan
sekadar ajakan atau dorongan, tetapi sesungguhnya manifestasi dari jatidiri Gereja.
Transformatif berarti berani
berubah dan
berbenah. Pertama, untuk diri sendiri. Lalu, diri sendiri yang telah berubah itu akhirnya punya daya ubah untuk lingkungan sekitar dan
masyarakat luas.
Transformatif mengandung
unsur pertobatan, pembaruan diri selaras dengan bimbingan Roh Kudus. Kita simak kembali contoh-contoh peristiwa transformatif, misalnya
dalam kisah Zakeus, Paulus, atau bahkan perjalanan institusi Gereja ketika
melahirkan Konsili Vatikan II.
Umat yang transformatif menjadi terang dan garam bagi yang lain. Dalam kesatuan
dengan Yesus Kristus, hidup umat Katolik tidak pernah untuk dirinya sendiri. Umat yang transformatif adalah umat yang dalam hidupnya --berkat iman akan Kristus--
mengalami proses head-heart-hand, inform-form-transform, lived-living-lifegiving.
Menjadi umat
Katolik yang transformatif tentu membutuhkan pendampingan, pembinaan dan
pembelajaran atau katekese. Setidaknya ada dua cara pencapaiannya. Pertama, internal,
langkah-langkahnya berupa: (1) Mendampingi
keluarga-keluarga agar mampu memerankan diri sebagai wadah, rumah dan
lingkungan bagi lahir, hidup dan tumbuhnya iman semua anggota keluarga, (2)
Meningkatkan kegiatan-kegiatan Gereja, seperti pengajaran katekismus
Gereja Katolik (KGK) dan dokumen gereja lainnya, meningkatkan semangat peran serta dalam liturgi,
meningkatkan pertemuan-pertemuan umat yang menarik, (3) Meningkatkan kualitas
rasuli pelayan umat yang menyangkut spiritualitas, kinerja, kepemimpinan,
pengetahuan dan kesediaan/ kesadaran akan perubahan,
dan (4) Pemanfaatan aneka macam media untuk memperkaya
dan meneguhkan iman umat serta untuk mendorong partisipasi umat dalam hidup
menggereja.
Kedua, eksternal, berupa: (1) Menanggapi secara serius setiap undangan/ajakan dari warga
untuk suatu kegiatan bersama, (2) Meningkatkan kualitas
rasuli tokoh umat yang menyangkut spiritualitas, kinerja, kepemimpinan,
pengetahuan dan kesediaan/kesadaran akan perubahan,
dan (3)
Menumbuhkan keaktifan masuk dalam kantong-kantong yang menentukan perubahan dan
kebijkanan publik.
Manifestasi di Tingkat
Kevikepan
Bagaimana mewujudkan gerakan ‘Menjadi Orang Katolik yang Transformatif’ itu di tingkat Kevikepan? Apakah ada
keunikan-keunikan di masing-masing wilayah?

Sesuai
kebijakan Bapa Uskup Mgr Robertus Rubiyatmoko yang mencanangkan Kevikepan sebagai Pusat Pastoral, tema ‘Orang Katolik yang Transformatif’ akan
secara intens menjadi acuan setiap kevikepan untuk mewujudkannya. Tak
terkecuali Kevikepan Semarang. “Kita
sambut dengan antusias,” kata Vikep Semarang.
Bagi Rama Budi
Wihandono, kata transformatif dalam Orang Katolik yang Transformatif itu tidak
bisa dilepaskan dari kata reflektif. Pertanyaan: mengapa perlu transformasi?
Jawabannya adalah karena ada refleksi dahulu yang mendasarinya. Tanpa ada
refleksi yang mendasarinya, tentu juga tidak mengerti akan ada transformasi
seperti apa.
“Maka bagi
saya, fokus umat yang transformatif adalah kerja keras refleksi untuk menemukan
hal-hal yang dapat ditransformasi. Lalu diperkuat dengan spiritualitas yang
kuat dari pribadi orang-orang yang mau bertanggungjawab terhadap transformasi
itu,” papar Rama Vikep Semarang.
Terkait dengan
realisasi nyata dari fokus pastoral tersebut, dikatakan, akan merangkum
refleksi dari paroki-paroki dan dari komisi-komisi kevikepan, bagaimana hasil
refleksi mereka mengenai paroki dan komisi yang mereka ampu.
Tentu refleksi
ini juga berdasar pada RIKAS (Rencana Induk Keuskupan Agung Semarang) dan
Ardas. RIKAS dengan tiga pintu: sejahatera, beriman, dan bermartabat. Ardas
dengan inklusif, inovatif, dan trasnformatif. Bagaimana hal-hal tersebut sudah
berjalan di paroki-paroki dan komisi-komisi?
“Kejelian dan
kemampuan reflektif dari para rama paroki dan komisi menjadi hal yang pokok bagaimana
mewujudan umat Katolik yang transformatif. Dalam arti ini, perwujudannya adalah
bahwa yang transformatif itu pertama-tama ialah orangnya, para ramanya, dewan
parokinya, dan mereka yang mengurusi komisi-komisi,” tandas Rama Budi.
Ad Intra, Ad Extra
Transformasi
orang Katolik bisa diwujudkan dalam Ad
Intra dan Ad Extra. Keduanya bisa
dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Keduanya seperti keping mata uang
dengan dua sisi. Istilah yang lebih mudah bagi umat adalah bagaimana orang
Katolik bertanggungjawab terhadap imannya, dan bagaimana orang Katolik
bertanggung jawab terhadap masyarakat.
“Saya memakai
istilah bertanggungjawab bukan sekedar terlibat. Bertanggung jawab itu memang
setiap orang masuk pada hakekat. Kata ‘hakekat’ itu mau menekankan kata
‘harus’. Harus bertanggung jawab Gereja dan masyarakat (Gaudium et Spes art.1),” tegas Rama Budi.
Kata ‘harus’
itu kalau tidak dilakukan, itu namanya kesalahan. Maka kalau orang Katolik
tidak bertanggung jawab terhadap Gerejanya, itu satu kesalahan. Dan sebagai
warganegara tidak bertanggung jawab terhadap negaranya itu juga satu kesalahan.
Lanjutnya,
sedangkan istilah terlibat itu sekedar fakultatif, manasuka. Orang Katolik
harus bertanggung jawab dalam liturgi, koinonia, diakonia, keryma, dan
martyria. Ketika orang Katolik dibaptis dengan 3 karunia kenabian (nabi, raja,
imam), maka ia harus bertanggung jawab terhadap Gereja. Bukan sekedar terlibat.
Karena kalau terlibat itu manasuka atau fakultatif. Sedangkan bertanggung jawab
itu ‘harus’. Dan semangat ini yang harus dimunculkan dalam diri umat.
Dan
tantangannya adalah bagaimana mendampingi sekaligus menemukan umat yang
mempunyai mobilitas yang tinggi, ucapnya. Jika ditanya tentang tantangannya,
maka tantangannya adalah menyadarkan para pelaku pastoral --entah itu rama,
komisi-komisi, dan juga umat-- untuk
memaknai kata ‘harus bertanggung jawab’.
Contoh dari
bertanggung jawab, misalnya, dalam bidang liturgia itu yang bertanggung jawab
adalah semua umat. Bentuk tanggung jawab itu ketika muncul kata ‘suka
menawarkan’. Misalnya Rama berkata, “Paduan suara kurang anggota koor”; lalu
ada umat yang menjawab, “O iya, saya mau.” Ketika ada yang mengatakan “Petugas
yang mengurusi altar kurang”, lalu ada jawaban “Aku mau”. Petugas lektor tidak ada, lalu spontan
menjawab, “Aku mau.” Ini merupakan suatu bentuk tanggung jawab.
Namun sayang
bentuk tanggung jawab ini kadang tidak terjadi dalam hidup menggereja. Masih
sedikit orang yang mau menawarkan diri untuk terlibat dalam suatu tugas Gereja.
Sehingga banyak yang hanya sekedar menjadi penonton dalam liturgi Gereja.
Dalam
paguyuban-paguyuban tingkat dasar, seperti lingkungan, betapa banyak orang yang
tidak mau bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Jika dibiarkan nanti bisa
berkembang ke wilayah dan paroki, sekedar menjadi penonton. “Yang
mengikuti kegiatan ini paling banyak 30%. Ini berarti ada 70% yang belum
bertanggung jawab terhadap lingkungan.”
Bidang-bidang
lain pun juga demikian, seperti bidang diakonia, keryma, dan lainnya. Maka yang dipakai pakai untuk pendasaran bentuk tanggung jawab
itu adalah semangat martyria. Dalam
dirinya jiwa pengurbanan. Semakin banyak adanya jiwa martyria, maka segala
macam persoalan dapat teratasi.
Kualitas Pengurbanan
Dalam kesempatan ini, Rama Budi
Wihandono berharap semua orang Katolik memiliki kualitas martyria atau
pengurbanan -sebagaimana Tuhan Yesus yang diimaninya- yang menjadi dasar bagi
semua yang lainnya. Salah satu persoalan Gereja dan masyarakat adalah karena
kurangnya kualitas martyria atau pengurbanan. Kualitas martyria ini melawan
budaya mengurbankan yang lain, melawan budaya apatis, budaya sekedar menunggu,
dan budaya-budaya lainnya yang membuat rusak atau tidak berkembang.
Kualitas
martyria (pengurbanan) itu jika diisikan dalam hal apa saja akan memberikan hal
positif. Misalnya. (a) Jika di keluarga ada semangat pengurbanan, maka banyak
persoalan keluarga akan diselesaikan. (b) Jika dalam Gereja diisi dengan
semangat pengurbanan, maka banyak masalah Gereja akan diselesaikan. (c) Jika di
masyarakat banyak orang makin berkurban, maka banyak masalah akan diselesaikan.
Semangat
martyria ini juga bisa diterapkan kepada siapa saja. (1) jika suami-isteri
mempunyai semangat pengurbanan, hidup keluarga pasti lebih bahagia. (2) Jika
anak mempunyai semangat pengurbanan, orangtua pasti lebih bahagia. (3) Jika
umat di lngkungan, wilayah, atau paroki banyak yang mempunyai semangat
pengurbanan, pasti Gereja akan menjadi lebih hidup. (4) Jika di masyarakat para
pejabat mempunyai semangat pengurbanan, maka keadilan, kesejahteraan, dan
kemakmuran pasti akan lebih terwujud.
“Bagi saya,
kunci transformatif harus menghasilkan orang-orang Katolik yang memiliki jiwa
martyria atau pengurbanan seperti Tuhan Yesus. Puncak dari seluruh transformasi
pelayanan Tuhan Yesus adalah inkarnasi (penjelmaan menjadi manusia) dan
pengurbanan dirinya di kayu Salib yang menjadi transformasi penyelamatan bagi
seluruh dunia. Tanpa adanya jiwa martyria, harapan transformasi tidak akan pernah
tercapai,” tandas Rama Antonius Budi Wihandono.
Orientasi Aksi
Bagi Rama Robertus
Budiharyana Pr , Vikep
Surakarta, transformasi
adalah proses tindakan nyata untuk melakukan suatu perubahan, merubah bentuk.
Perubahan harus dimulai dari diri sendiri. “Satu ons tindakan untuk sebuah perubahan lebih bermakna daripada
satu ton pemahaman tentang arti sebuah perubahan,” tuturnya.
Kevikepan
sebagai pusat kegiatan pastoral mewujudkan fokus pastoral 2020 dimaksudkan agar umat lebih terlayani,
tersapa, terdengar harapannya, dan lebih tepat menjawab kebutuhannya. Semakin
disadari bahwa Keuskupan Agung Semarang adalah Keuskupan yang besar karena
banyak jumlah umatnya, banyak parokinya, dan banyak pula jenis serta bidang
karyanya.
“Penetapan Kevikepan sebagai Pusat Kegiatan
Pastoral adalah sebuah keputusan yang sangat berani dan mensyaratkan terjadinya
perubahan dalam banyak hal,” kata
Rama Vikep Surakarta itu.
Tata hubungan
antara Keuskupan, Kevikepan, dan Paroki berubah. Pengelolaan keuangan berubah.
Kewenangan dan tanggungjawab Rama berubah. Tugas dan tanggungjawab komsi-komisi
berubah. Prinsip penting adalah melaksanakan reksa pastoral kevikepan seperti
telah dirumuskan dalam pedoman.
“Dampak
atau perubahan yang dicapai dengan kegiatan mesti terukur. Semuanya ini tentu
bukan perkara mudah dan harus diperjuangkan bersama-sama dengan sabar dan tekun,” lanjutnya.
Selanjutnya Rama Vikep Surakarta itu menjelaskan perubahan
itu dilakukan ke dalam ( transformasi ad
intra) dan keluar (transformasi ad extra). Menurutnya, transformasi
Ad Intra adalah perubahan ke dalam, perubahan diri sendiri. Umat Katolik
Keuskupan Agung Semarang, yaitu seluruh umat: ya awam, ya imam, ya bruder, ya
suster, pokoknya semua saja tanpa kecuali, baik sendiri-sendiri, pribadi per
pribadi maupun bersama-sama mesti berubah.
Dengan cara
apa perubahan itu diwujudkan? Gereja Katolik mempunyai semboyan atau sesanti
"Ecclesia Semper Reformanda",
artinya Gereja selalu memperbarui diri. Dari waktu ke waktu, tercatat dalam
sejarah dan menjadi sejarah, Gereja membarui pandangan dan sikapnya berhadapan
dengan dunia. Gereja pernah salah dan dengan rendah hari memperbaiki diri.
Kesadaran
bahwa Gereja tinggal di tengah-tengah masyarakat yang beraneka ragam suku,
budaya, agama, dan etnis menuntut setiap warganya, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama, melakukan perubahan dalam cara bergaul, meningkatkan srawung dengan masyarakat.
Berhadapan
dengan alam ciptaan dan lingkungan hidup yang rusak, tercemar dengan berbagai
macam sampah plastik, setiap warga Gereja diajak melakukan perubahan dengan
memilah sampah. Berhadapan dengan kemarau panjang dan kekeringan, kurangnya
air, setiap warga Gereja diajak melakukan perubahan dengan menanam pohon-pohon
yang dapat mengikat air, membuat biopori. Perubahan harus dimulai dari diri
sendiri, dari waktu ke waktu.
Sementara itu, transformasi ad extra, menurutnya , adalah perubahan ke luar, perubahan diri sendiri yang
membawa dampak pada perubahan yang lain. Umat Katolik mesti berdaya ubah, artinya
membawa perubahan pada masyarakat dan dunia.
Umat Allah
Keuskupan Agung Semarang menjadi contoh, tidak hanya memberi contoh dalam melakukan perubahan, secara nyata dalam
memperjuangkan keadilan, dalam melestarikan keutuhan ciptaan, dalam mewujudkan
kesejahteraan, dalam menciptakan perdamaian.
Umat Katolik
mesti berani bertindak seperti Yohanes Pembaptis, "Suara yang berseru-seru
di padang gurun", menyerukan pertobatan. Perubahan dunia harus dimulai
dari diri sendiri.
Tantangan
Untuk melakukan perubahan pasti
ada tantangannya, itu pasti, khususnya di Kevikepan Surakarta. Paradigma baru
mengajak kita untuk memahami tantangan sebagai peluang atau kesempatan.
Kevikepan
Surakarta terdiri dari 5 rayon 27 paroki dan 2 paroki administratif. Rayon
Timur (5 paroki): Sragen, Gemolong, Karanganyar, Jumapolo, Palur. Rayon Selatan
(3 paroki): Danan, Baturetno, Wonogiri.
Rayon Kota I (5 paroki): Sukoharjo, Solo Baru, Kartasura, Dirjodipuran,
Purbayan. Rayon Kota II (6 paroki):
Mojosongo, Purbowardayan, Purwosari, Kleca, Boyolali, "Simo". Rayon
Klaten (10 paroki): Delanggu, Jombor, Cawas, Bayat, Wedi, "Ketandan",
Klaten, Gondang, Kebonarum, Dalem.
Jumlah paroki
lumayan banyak dan wilayahnya cukup luas. Setiap rayon punya kekhasannya
masing-masing. Rayon Selatan mengalami kekeringan dan kurang air di musim
kemarau panjang. Rayon Kota berhadapan dengan masyarakat yang bersumbu pendek.
Rayon Klaten cukup nyaman, satu kabupaten 10 paroki, "kempel", daerah
pertanian subur yang tergerus pembangunan pabrik-pabrik. Rayon Timur mencakup 2
kabupaten yang lumayan luas, kabupaten Sragen dan Karanganyar.
Pada tahun
2020 ini nanti melaksanakan pilkada serentak di 5 kabupaten, minus kabupaten
Karanganyar. Penetapan Kevikepan sebagai Pusat Pastoral dan pemekaran-pemekaran
paroki yang selama ini terjadi juga menjadi tantangan tersendiri bagi umat.
Tantangan yang tidak mudah menghadapinya
adalah beralih dari zona nyaman.
“Yang penting mesti selalu diingat bahwa
tantangan sejatinya adalah peluang,”
tuturnya.
Sesuaikan Kondisi Lingkungan
Rama Alexius Dwi Aryanto Pr, Vikep Kedu, mengatakan, fokus pastoral 2020, ‘Umat
Katolik yang Transformatif’ dimaknai sebagai sebuah cita-cita yang menjadi daya
dorong bagi seluruh umat Katolik KAS untuk selalu berintrospeksi
mengenai kehadirannya di tengah umat dan masyarakat.
“Maka bagi saya, kita bisa mentransformasi diri kalau kita berani terus
menerus koreksi diri, terbuka terhadap perubahan dan harus berani menyesuaikan
diri dengan zaman meski tetap berpegang pada nilai-nilai dan ajaran-ajaran
kristiani. Jadi kita ikut arus tetapi tidak hanyut. Harus tetap menampakkan
jati diri kita sebagai orang katolik yang menjunjung tinggi nilai-nilai injili
demi kemanusiaan,” tuturnya.
Menurutnya, Kevikepan
Kedu sebagai bagian dari KAS akan mewujudkan fokus
pastoral tersebut sesuai dengan kondisi di Kevikepan Kedu. Fokus pastoral tersebut
akan diwujudkan melalui program-program komisi di Kevikepan.
Misalnya saja, program Sekolah Pemandu, yang dibuat oleh Komisi Kitab
Suci Kevikepan. Program ini memberi kesempatan kepada perwakilan dari
paroki-paroki untuk belajar menjadi pemandu di lingkungan. Selama ini sejauh
diamati, pertemuan-pertemuan di lingkungan misalnya, BKSN, APP, BKL, dipandu
oleh orang-orang yang dianggap mampu, seperti prodiakon atau ketua lingkungan.
“Kemampuan mereka tentu tidak diragukan lagi. Akan tetapi supaya dalam
memandu lebih bisa hidup maka perlu pelatihan. Belum pernah pertemuan di
lingkungan dipandu oleh orang-orang yang dibekali secara khusus, bagaimana
teknik memandu pada saat pertemuan,”
tuturnya.
Oleh karena itu diharapkannya dengan adanya
sekolah pemandu ini ada suatu perubahan paling tidak dari sisi para pemandu,
sedikit mempunyai Teknik-teknik dasar memandu. Sekali lagi, fokus pastoral
tersebut mau diwujudkan melalui program-program pelayanan pastoral di
komisi-komisi.
Transformasi ke
dalam Ad Intra dan Ad Extra bisa diwujudkan melalui tiga kata
kunci sebagaimana terumus dalam RIKAS, yaitu kesejahteraan, keberimanan dan
kebermartabatan. Ke dalam (Ad Intra), diwujudkan dengan semakin memperdalam
iman melalui formatio iman berjenjang mulai dari PIA-PIUL.
Melalui pendalaman iman diharapkan ada perubahan yang signifikan dalam
diri umat. Kedalaman iman diharapkan semakin memapukan umat untuk memiliki daya
ubah baik dalam dirinya maupun dalam kehidupan bersama. Misalnya, kedalaman
iman semakin membuat orang memiliki kesabaran, kasih yang tulus, tangguh dalam
menghadapi berbagai macam tantangan kehidupan. Semakin mampu mengembangkan
dialog untuk menciptakan persaudaraan.
Sementara perwujudan Ad Extra,
bisa dilakukan melalui kata kunci kesejahteraan dan kebermartabatan. Umat
katolik diharapkan semakin mampu mewujudkan perubahan dalam tataran pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan primer umat dan masyrakat. Banyak gerakan-gerakan dari umat
Katolik yang semakin mendorong terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik.
“Harapan saya, fokus pastoral tersebut bisa benar-benar
mengubah cara berpikir, cara bertindak seluruh umat agar kehadiran umat
katolik, khususnya di Kevikepan Kedu sungguh relevan dan signifikan. Selain itu
umat semakin terbuka terhadap berbagai macam pembaharuan yang terjadi, tidak
hanya berhenti, ‘mandheg’ dan berpuas diri namun selalu ada usaha untuk
maju mengembangkan inovasi-inovasi dan kreativitas-kreativitas pastoral yang
menjawab kebutuhan zaman,”
katanya.
Memperjuangkan Kesempurnaan
Bagi Vikep DIY, Rama Adrianus
Maradiyo Pr, menjadi umat Katolik yang transformatif adalah menjadi umat Katolik -baik secara pribadi, kelompok, atau
komunitas melalui pertobatanny- siap untuk: pertama, berbenah, berubah,
berbuah, dan lalu membawa dampak atau berdampak. Jadi berbenah, berubah,
berbuah, berdampak.

“Yang pertama adalah dari Injil Matius 5:48
‘Karena itu haruslah kamu
sempurna seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna’. Maka untuk mencapai kesempurnaan itu
kita diajak untuk memahami menjadi semakin sempurna sebagaimana Bapa di surga
sempurna. Kita diajak untuk terus menerus memperjuangkan yang namanya
kesempurnaan itu. Karena kesempurnaan itu pada dasarnya adalah milik Allah.”
Kecuali itu, tuturnya, kita diajak untuk menyadari pula adanya paham yang
sungguh-sungguh jelas, paham soal ecclesia
semper reformanda. Gereja yang diajak untuk terus menerus mengadakan
pembaharuan, membaharui diri terus menerus. Ini yang disebut dengan dasar,
dasar mengapa umat katolik diajak untuk transformatif.
Lalu gerak
transformasi yang mau dibangun itu macam apa? Yang pertama adalah gerak dinamis
ad intra. Artinya perubahan dalam
diri masing-masing orang Katolik menjadi semakin sempurna sebagaimana Bapa di
surga adalah sempurna. Lalu perubahan dalam Gereja Katolik sebagai sebuah
paguyuban umat beriman diajak untuk umat itu semakin guyup, semakin padu,
berlandaskan tiga hal yang disampaikan oleh Bapa Uskup: yang pertama adalah
Karitas, yang kedua adalah fraternitas, dan yang ketiga adalah solidaritas. Ini
harus dibangun dalma kehidupan ad intra sebagai orang Katolik yang
transformatif.
Lalu yang
kedua adalah gerak dinamis ad extra. Bahwa masing-masing umat Katolik
diajak tidak cukup hanya menjadi agen perubahan tetapi orang Katolik diajak
untuk menjadi aktor perubahan. “Kamu
adalah garam dunia, kamu adalah terang dunia”, dalam Injil Matius 5:13-16.
Ini gerak ad extra. Gereja diajak secara
bersama-sama memberi daya ubah bagi masyarakat dan lingkungannya, menjadi
semakin relevan dan signifikan bagi masyarakat. Ini jelas sekali yang namanya
Gereja Katolik yang transformatif itu tidak hanya secara internal dalam diri
tetapi diajak Gereja itu kita sebagai orang Katolik adalah garam dan terang
dunia, membawa daya ubah untuk kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Ini yang
dimaksud dengan umat Katolik yang transformatif.
Tentu
harapannya bahwa perubahan itu sampai pada semangat dasar yang bersumber dari
Yesus Kristus sendiri. Yesus yang mau menjelma menjadi manusia, itu proses
inkarnasi, Allah Putra menjelma menjadi manusia. Ini adalah transformatif
sekali.
“Dan kalau kita mencoba untuk merenungkan setiap Sabda Tuhan, itu
kan semua Sabda Tuhan itu sungguh-sungguh transformatif, membawa daya ubah,
membawa dampak. Apa yang dibuat oleh Yesus lewat sabda-sabda-Nya dan
karya-karya-Nya itu adalah sabda dan karya yang sungguh transformatif,” tuturnya.
Tidak Sentralistis
Kevikepan sebagai pusat kegiatan
pastoral ini mempunyai maksud supaya kegiatan-kegiatan tidak sentralistis
tetapi justru desentralistis. Tujuannya tidak lain adalah, secara ad intra, supaya umat Katolik semakin
banyak yang terlibat dalam kehidupan menggereja.

Menurut Rama Maradiyo, dua hal ini tidak bisa kita lupakan,
tidak bisa kita tinggalkan. Sebagai garam itu artinya harus siap membuat
masyarakat itu menjadi enak, menjadi harmoni, menjadi sedap. Maka orang Katolik
harus ajur-ajer. Ajur-ajer dalam kehidupan di tengah masyarakat.
Contohnya,
umat Katolik ikut dalam siskamling, umat Katolik ikut dalam gotong royong, umat
Katolik ikut dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat: menjadi ketua RT,
menjadi ketua RW. Ini adalah wujud konkrit dari umat Katolik secara ad extra.
Sehingga
diharapkan kehadiran umat Katolik dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan ini itu
akan sungguh-sungguh sadar sebagai garam, artinya siap untuk ajur-ajer. Tetapi
jangan ajur-ajer ikut arus. Tapi di dalamnya kamu adalah terang dunia.
Ajur-ajer di tengah-tengah masyarakat tetapi juga memberikan pencerahan kepada
masyarakat.
“Saya mempunyai wacana bahwa komisi-komisi
yang ada di Kevikepan DIY ini siap untuk terjun ke paroki-paroki atau ke
rayon-rayon. Baik itu dalam
selebrasi maupun dalam edukasi sehingga akan semakin banyak umat di paroki yang
terlibat. Tidak hanya
terlibat tetapi juga umat yang semakin tersapa,” kata Rama Maradiyo.
Dengan model
macam ini, ada konsekuensi yang harus disiapkan. Konsekuensinya harus ada
penguatan komisi. Kerja tim diharapkan sungguh-sungguh semakin kompak. Lalu
yang kedua, juga ada kerjasama dengan rama-rama paroki, kata Vikep DIY itu.
Dari penjelasan para Rama Vikep di atas, greget dan spirit untuk membangun umat Katolik yang
Transformatif sangatlah terasa. Bekal yang bagus mengawali tahun baru. Selamat Tahun Baru 2020.***marcellinus tanto pr, warih,
elwin, antoprab
Tidak ada komentar