Menjadi ‘Terang’ di Berbagai Bidang
Pesan sederhana dari Tuhan Yesus
bagi para pengikutnya yang selalu tertanam di hati adalah 'jadilah garam dunia'
dan 'jadilah terang dunia'. Bagi umat Katolik Indonesia,khususnya umat
Keuskupan Agung Semarang (KAS), pesan itu menjadi pedoman yang kuat dalam
menjalani kehidupan. Dengan berbekal pesan itu pula, beberapa umat Katolik
menghasilkan berbagai karya kemanusiaan di masyarakat yang beragam. Seperti
apakah kiprah mereka?
Karya kemanusiaan umat Katolik KAS untuk
kesejahteraan umum, adalah buah yang harus disyukuri, kata Bapa Uskup KAS Mgr
Robertus Rubyatmoko yang senantiasa
berpesan pada umat KAS tentang pentingnya srawung.
Cita-cita KAS, sebagaimana tertuang dalam Arah
Dasar (Ardas) KAS adalah merengkuh
dan bekerjasama dengan semua orang (inklusif), terus menerus membarui diri
(inovatif) dan berdaya ubah (transformatif).
KAS pantas bersyukur pula karena lahir sosok-sosok awam yang mampu
mengemban amanat Gereja menjadi ‘garam’ dan ‘terang’ dalam lingkup kehidupan
bermasyarakat.
Membawa
Perubahan
‘Pembawa perubahan’, itu predikat yang pantas disandangkan untuk FX Hanis Triyono. Betapa tidak, Lurah Kelurahan Brumbungan, Kecamatan
Semarang Tengah, Kota Semarang, sejak 7 Januari 2017 ini selalu memberikan
hal-hal baru. Belum genap satu tahun menahkodai masyarakat wilayah Brumbungan, dirinya telah menelurkan program baru yang bernama
Bank Sampah ‘Mulya Sedaya’ pada Agustus 2017.
Program bank sampah ini
bekerja sama dengan pengurus Gereja Isa Almasih Pringgading yang berjarak 200
meter dari kantor Kelurahan Brumbungan. Lokasi
bank sampah terletak di Graha Mitra, seberang gereja.
Kamis jam 12.00-14.00 adalah waktu
yang disediakan untuk para pemulung untuk menyerahkan sampah lalu menimbangnya di Graha Mitra. Selanjutnya, pengurus bank sampah mencatat berat dan rupiah yang harus diterima pemulung di kas
pembukuan.
Sampah-sampah tersebut
selanjutnya dipindah ke bak truk. Tepat jam 2 siang truk yang mengangkut sekitar 1 ton sampah itu meninggalkan Graha Mitra menuju pengepul. Dan
praktis tidak ada sampah tersisa di Graha Mitra. “Kami menerima semua sampah,
baik kertas, plastik, maupun besi. Nantinya akan dipilah-pilah oleh mengurus,”
ucap Lurah Hanis.
Hasil tabungan bank sampah
ini baru boleh diambil setahun sekali, biasanya menjelang lebaran. Dan hasilnya
sungguh mengejutkan. Beberapa nasabah mencapai jutaan rupiah. Bahkan untuk
tahun pertama 2017 ada yang memiliki tabungan hingga Rp 4 juta. “Pencapaian
tertinggi untuk tahun 2018 adalah Rp 6 juta,” tandas FX Hanis.
Masih menurut Hanis, ada 290
nasabah bank sampah ini. Dari jumlah itu, 100 nasabah adalah warga Brumbungan.
Dengan banyaknya warga menjadi nasabah bank sampah diharapkan tak ada lagi
sampah tercecer di wilayah ini. Karena masyarakat semakin sadar bahwa selain
mengotori lingkungan, sampah juga bisa memberikan berkah dan manfaat, sesuai
motto mereka ‘sampah membawa berkah’.
Kedepannya, bank sampah ini
akan me-launching program asuransi
sampah. Harapannya, dari sampah nasabah memiliki jaminan kesehatan yang baik. Atas perjuangan ini, bank sampah Mulya Sedaya
memperolah penghargaan Platinum dari Menteri Lingkungan Hidup di Jakarta tahun
2019.
Lurah Hanis bersyukur, di tahun kedua penugasannya di Kelurahan
Brumbungan mulai ada buah-buah yang tumbuh. Pada tahun 2018 Kelurahan Brumbungan memperoleh beberapa apresiasi
dalam kegiatan lomba di tingkat Kota Semarang. Perolehan itu antara lain, juara
I Lomba Ramah Lingkungan, juara I Lomba Pidato, dan juara I Lomba Evaluasi 10
Program Pokok PKK. Selain itu, beberapa rumah kumuh pun diusahakan dana
renovasinya dari Pemkot.
Umat Paroki St Petrus
Krisologus, BSB, Semarang ini menyadari bahwa yang ia lakukan sebagai lurah ini
merupakan jawaban kesiapsediaannya atas sabda Tahan dalam kitab Yesaya (6:8):
“Ini aku, utuslah aku.”
Kesetaraan
Kaum Difabel
Noviana bersama para penghuni Rumah Difabel Semarang. |
Kondisi buah hati yang mengalami tuna
grahita (keterbelakangan mental) tidaklah menjadikan wanita satu
ini minder atau putus harapan.
Sebaliknya, gelora hati untuk menyetarakan penyandang disabilitas atau kaum
difabel, kian mantap. Dan bahkan Tuhan memanggilnya sebagai kepanjangan
tangan-Nya untuk menjaga, merawat, dan mengembangkan potensi-potensi orang muda
difabel. Benedikta Noviana Dibyantari,
inilah sosok pendiri Komunitas Sahabat Difabel dan Roemah Difabel.
Langkah yang dilakukannya berawal dari sebuah keprihatinan atas sahabat-sahabat difabel yang belum
memiliki wadah yang membantu mereka memperjuangkan kesetaraan. Waktu itu di
Semarang, wadah untuk disabilitas memang sudah ada, namun hanya kelompok ragam
tertentu.
“Misalnya, tuna netra
sendiri, tuna rungu sendiri, tuna daksa sendiri, dan sebagainya. Padahal di Indonesia ada 14 ragam
disabilitas. Dan waktu itu kami bertekad membuat sebuah komunitas yang bisa
menyatukan seluruh ragam disabilitas, sehingga nantinya apa yang kita
perjuangkan untuk kesetaraan bisa tercapai,” ucap kepada cabang LP3I Course Centre cabang Ngaliyan Semarang.
Setelah berteman lewat Facebook dengan orangtua yang juga
memiliki anak penyandang disabilitas, dirinya baru tahu, banyak ragam disabilitas. “Akhirnya, saya berpikir, ada sesuatu yang
ingin saya kerjakan. Itu sekitar 2012,” ujarnya.
Diskusi
kemudian mengalir melalui media sosial itu. Novi yang memiliki event organizer, menggelar kegiatan
rutin tahunan yang berhubungan dengan kaum yang kerap terlupakan itu. ”Saat itu
Hari Pahlawan, 10 November 2014. Saya mengadakan pelatihan anak berkebutuhan khusus (ABK) di Balai Kota
Semarang,” paparnya.
Sebulan
kemudian Novi diundang ke Dinas Sosial Kota Semarang. ”Saya
diminta mendatangkan 30 orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dan
organisasi. Saya
pikir, teman saya di Facebook banyak.
Datang juga teman-teman pegiat difabel, pengacara, dan dari organisasi. Saat
itu baru muncul ide membuat komunitas yang bisa memayungi semua ragam
disabilitas,” ungkapnya.
Di
bulan April 2015, lahirlah Komunitas Sabahat Difabel (KSD). Mereka sepakat
menggelar acara rutin bulanan. Kegiatan pertama adalah pelatihan untuk autis
pada Hari Autis Internasional. Dua tahun berjalan, KSD mendapatkan anggota yang
tidak ikut organisasi. Salah satunya adalah Puput dan adiknya, Zulfikar, yang
kini dikenal sebagai pelukis. Ada pula penyandang disabilitas yang selama 32
tahun tidak pernah keluar rumah. Novi berjuang supaya mereka memiliki
kemandirian dalam finansial.
Putranya
saat ini juga bekerja sebagai office boy.
Hingga saat ini, ada 70 orang yang bernaung di KDS. ”Saya tidak pernah
membatasi. Ada anak kelas 2 SD, lainnya usia muda di atas SMA, paling tua
berumur sekitar 37 tahun,” kata dia seraya menambahkan bahwa 90% dari mereka
bukanlah umat Katolik.
Novi
menjelaskan, KSD tidak memiliki donatur tetap. Namun, banyak yang memperhatikan
dan peduli. ”Saya yakin, kalau kita mempunyai niat baik, selalu ada jalan
kebaikan,” ucap ibu 6 anak ini.
Dengan
semakin banyaknya anggota KSD, Novi berpikir perlunya punya ‘rumah’ sendiri
untuk kegiatan anak-anak. Sontak dia teringat sosok
drg Grace Susanto. Segera ia menelepon dermawan ini. “Waktu itu saya
berkata, Bu Grace, kami butuh rumah karena anak-anak KSD sudah banyak. Dan
di luar dugaan, Bu Grace berkata, dia punya rumah kosong di Jl MT Haryono 166, bisa digunakan.”
Setelah
direnovasi oleh si empunya rumah, diberkati dan diresmikanlah Roemah Difabel
(Roemah D) pada April 2017. Rama Wignya MSF memberkati. Kyai Budi juga
mendoakan dalam pengajian yang diadakan.
Atas
semua peristiwa ini, Novi semakin yakin bahwa Tuhan sendiri yang berkarya bagi
KSD dan Roemah D. Maka ia semakin bersemangat merawat, menjaga, dan mengembangkan anak-anak KSD hingga memiliki
kemandirian hidup, termasuk kemandirian finansial, dan kesetaraan martabat.
Sampai
kapan akan terus berkarya? “Sampai Tuhan memanggil saya pulang,” ucap umat
Paroki St Petrus Krisologus, BSB, Semarang ini.
Rumah
AIRA
Di antara
jajaran rumah di kampung Tandang, Semarang, terdapat rumah AIRA. Rumah ini
tampak sama dengan rumah lainnya. Yang membedakan adalah bahwa di rumah
berukuran 5x20 meter ini bertabur kasih sayang. AIRA singkatan dari Anak Itu
Rahmat Allah. Di sini mereka yang terinfeksi virus HIV/AIDS memperoleh kasih
sayang dan perawatan.
Magdalena pendiri dan pengelola Rumah AIRA bagi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). |
Adalah Maria Magdalena Endang Sri Lestari, sosok di balik berdirinya Rumah
AIRA. Mama Lena, demikian penghuni Rumah AIRA memanggilnya. Ia tak pernah
berpikir, dirinya dipakai Tuhan untuk menjadi saluran kasih bagi ODHA (Orang
Dengan HIV/AIDS).
“Memang semasih remaja saya
pernah berkeinginan memiliki panti asuhan. Saya ingin sekali menjadi ibu bagi
banyak anak walaupun tidak dari rahim sendiri. Saya pun pernah bermimpi berada
di sebuah rumah dengan banyak kamar yang berisi anak-anak kecil,” ucap aktivis
Gereja Materdei Lampersari Semarang saat masih muda.
Tuhan pun merealisasikan
mimpinya melalui kegiatan Event Organizer (EO) berbagai kegiatan senam, jalan
sehat, dan pengobatan gratis dari kampung ke kampung. Sampai suatu saat ia
berkenalan dengan Mbak Nita dari PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia) Kota Semarang yang mempunyai program talk show tentang HIV/AIDS. Dari perkenalan itu Lena kemudian
menggandeng Mbak Nita untuk mengadakan talk
show di setiap event yang diselenggarakannya.
“Dari situ saya membantu
anak-anak yang terinveksi HIV/AIDS dan orang dengan HIV/AIDS yang membutuhkan
pertolongan dan dana. Melihat mereka saya tersentuh. Anak-anak itu tidak salah.
Mereka dilahirkan dengan membawa virus seperti itu pasti ada beberapa yang tidak
diterima keluarga dan lingkungannya. Maka, saya teruskan niat untuk menyediakan
tempat bagi mereka,” kata tenaga administrasi di RS Elisabeth Semarang ini.
Persoalan mencari rumah
ternyata bukan perkara mudah. Masih banyak orang yang menolak niat baik Lena.
Namun, hal itu tidak pernah mematahkan semangatnya. Menurutnya, berbagai
penolakan itu terjadi karena mereka belum memahami apa itu HIV/AIDS dan
bagaimana cara menyikapi bila ada teman atau saudara yang terinfeksi virus itu.
Berkat sosialisasi yang terus-menerus
dan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat, Lena akhirnya berhasil menyewa
rumah yang beralamat di Jalan Kaba Timur No. 14 RT 09 RW 13, Kelurahan Tandang,
Kecamatan Tembalang, Semarang.
Tanggal 26 Oktober 2015,
Lena meresmikan rumah itu menjadi sebuah lembaga Rumah Lentera cabang Semarang.
Selang tiga bulan berikutnya tepatnya Februari 2016 lembaga ini berubah menjadi
yayasan resmi yang diberi nama Yayasan Rumah AIRA.
Rumah AIRA khusus menerima
ibu dan anak yang terifeksi HIV/AIDS. Mereka berasal dari berbagai daerah tanpa
membedakan agama. Semua ditampung tanpa membayar apapun. Semua diperlakukan
sama dengan penuh cinta.
“Tujuan utama kami adalah
ingin menyampaikan bahwa orang dengan HIV/AIDS atau anak dengan HIV/AIDS itu
aman di dalam keluarga. Mereka bisa sehat, tidak harus dikucilkan, atau
dibuang. Obat mereka hanya 2 yaitu cinta kasih di dalam keluarga dan ARV. Kalau
sudah mendapat pengobatan dengan ARV saya yakin mereka akan sehat. Hal itu bisa
dilihat dari ODHA yang ada di panti kami. Bertahun-tahun minum ARV mereka
sehat. Puji Tuhan, mereka bisa kami kembalikan ke keluarganya dengan sukacita.
Mereka bisa hidup bersama dengan bahagia sampai sekarang,” ujar ibu tiga anak
ini.
“Saat ini tinggal 2 anak umur 2 tahun dan 5
tahun serta 2 dewasa yang ada di Rumah AIRA. Kegiatan mereka sehari-hari
seperti di rumah biasa. Ada yang sekolah persamaan SMA dan yang satunya baru
selesai mengikuti kursus kecantikan,” ujar ibu dari Tarsisius Reno Ardanta,
Nicolas Dewa Ardanta, dan Yohana Putri Ardanta ini.
Bagi Lena, penghuni Rumah
AIRA sudah dianggap anak dan keluarga sendiri. Seperti sore itu, Lena bercanda
dengan dua anak Dede dan Cece (bukan nama sebenarnya). Penghuni lainnya Virgo
(nama samaran) korban trafficking
(perdagangan manusia) juga memberi kesaksian bahwa di Rumah AIRA dirinya
kembali bersemangat untuk melanjutkan hidupnya dengan belajar di SMA persamaan.
Ke depan, Lena berharap,
beberapa program yang telah dipersiapkan Rumah AIRA dapat dilaksanakan dengan
baik. Salah satunya adalah penggalangan dana untuk membeli rumah atau tanah
untuk persiapan Rumah AIRA. Mama Lena memimpikan sebuah rumah yang luas tempat
anak-anak bisa bersendau gurau, bermain, belajar, dan hidup layak seperti
anak-anak lainnya.
“Semoga mereka kelak bisa menjadi anak-anak yang sukses dan
diterima di masyarakat walaupun mereka positif HIV/AIDS,” tutur Mama Lena yang
bersandar pada tiga firman dalam Kitab Suci: “Datanglah
kepada-Ku yang berletih lesu, Aku akan memberi kelegaan”, “Apa yang kau lakukan untuk sesamamu itu, kau
lakukan untuk Aku”, dan “Siapa menabur, akan menuai”.
Sekolah Eksperiman
Yustinus
Haryanto dikenal masyarakat sebagai penggerak pertanian organik
dan SD mandiri di Desa Kalirejo Kulonprogro Yogyakarta. Dia menjadikan pertanian sebagai bahan ajar
bagi para siswa sekolah dasar. Para siswa diajak untuk kembali mencintai
pertanian.
SD tempat dia mengabdi
didirikan umat Katolik pada tahun 1969, lalu pernah diampu oleh Yayasan Pangudi
Luruh, dan pada tahun 1998 dikembalikan lagi ke umat sampai sekarang. “Sedangkan
pertanian organik mulai tahun 2008, mulai buka lahan. Tahun 2009 anak-anak
mulai berkegiatan di lahan itu,” tuturnya.
Yustinus Haryanto menjadikan pertanian sebagai bahan ajar bagi para siswa sekolah dasar. |
Dijelaskannya, sejak 1998 tidak ada lagi yayasan yang mengampu sekolah.
Lalu dirinya berpikir untuk membiayai sekolah itu. Setidaknya, sekolah harus
punya sumber daya finansial yang permanen.
Ada keprihatinan lain, bahwa masyarakat di Kalirejo itu adalah petani lahan
kering atau ladang. Tetapi anak-anak tidak dilibatkan dalam praksis pertanian.
“Kami berpikir untuk menjadikan pertanian itu sebagai bagian dari pendidikan di
sekolah, selain juga amendukung keberadaan sekolah.”
Lalu di tahun 2008 itu mulailah menjadikan pertanian organik sebagai bagian
dari edukasi. Mula-mulai lahan yang bisa dikuasasi hanya 1.000 meter persegi,
kemudian berkembang, karena umat menyewakannya lahannya dengan murah. Mereka
mengapresiasi pendidikan pertanian organik untuk anak-anak. Dari sisi tanaman,
mula-mula hanya 15 jenis tanaman yang dibudidayakan, kini jumlahnya lebih dari
70 an jenis tanaman.
“Dari kegatan pertanian, anak-anak belajar berbagai hal. Mulai yang teknis,
seperti menyiapkan bibit dan lahan siap tanam, bikin kompos, menanam, menyiram,
merawat tanaman, panen, jual, dan juga sebagian dimasak. Itu yang teknis,” kata
Haryanto.
Di luar hal-hal yang teknis itu, anak-anak pada akhirnya juga belajar
mengenai nilai-nilai, bagaimana mencintai alam, bagaimana mencintai kebudayaan
termasuk kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan pertanian.
“Macam-macam yang bisa
dipelajari. Mengenai tanaman yang ditanam, ada yang tanaman lokal dan non lokal. Anak
diajarkan mengapa perlu mencintai tanaman, mengapa kita perlu kerja keras
supaya bisa masak dan makan. Supaya bisa masak kan harus panen, supaya bisa
panen kan harus kerja keras,” katanya.
Jadi, turunan pertanian itu adalah pasar,
ketika hasil panen dijual, lalu masak sembari belajar nutrisi. Misalnya ada
kegiatan masak bayam dan caisin,
guru menjelaskan kandungan nutrisi dari
bayan dan caisin itu, apa guna nutrisi-nutrisi itu bagi tubuh, dan seterusnya.
“Anak-anak juga diajak melestarikan tradisi. Ada kenduri. Mereka kita kenalkan
beberapa jenis makanan tradisional yang digunakan di dalam kenduri,” tuturnya.
Menurut Haryanto, kurikulum yang digunakan untuk sekolah ini biasa. “Kami
tetap berpegangan pada kurikulum pemerintah, karena SD ini sekolah formal juga.
Tapi kami berusaha menyiasatinya, agar kegiatan pertanian bisa masuk di
dalamnya. Pihak Dinas juga mengetahui hal itu, mereka datang ke sini untuk
melihat. Dan mereka mengapresiasi,” kata Haryanto.
Jadi sekolah ini bukan
sekolah pertanian. Sekolah biasa yang menggunakan media pertanian untuk belajar
banyak hal. Juga belajar memahami hubungan manusia dengan alam. Di balik alam itu ada sesuatu yang lebih
tinggi, ada Tuhan yang ikut terlibat, kata Haryanto.
Sebenarnya, kata dia, orang-orang dulu juga menggunakan itu kan. “Wiwitan
itu kan doa. Nah kami
turunkan dalam konteks dunia sekarang, di doakan saja. Tapi kami juga ada
wiwitan yang menggunakan kenduri, tapi kalau sehari-hari ya didoakan saja.
Belajar ngobrol dengan tanaman. Di sini juga ada kuburan binatang. Itu juga
turunan dari dunia pertanian yang ditemukan kemudian.”
Dulu dirinya tidak membayangkan akan sebanyak ini turunan dari pertanian,
ada banyak nilai yang bisa diajarkan ke anak-anak. Dan ketika semua orang bisa
memahami dan menerima hal ini, dirinya juga tidak membayangkan akan banyak
apresiasi dari berbagai kalangan
terhadap pola yang dikembangkan.
“Sekarang banyak relawan dari mahasiswa. Karena itu, kegiatan ‘sekolah
pertanian’ ini pun lebih banyak. Ada outbound nya juga. Banyak anak sekolah
lain juga datang ke sekolah alam ini,” tuturnya.
Bagi Haryanto, pertanian
itu luwes, pertanian itu tidak ada agamanya. Jadi pertanian bisa jadi sarana
untuk srawung. Siapapun bisa masuk dan terlibat. “Yang datang ke sini mereka dari lintas agama. Mereka tidak
menanyakan agama kita apa. Sebaliknya, kita tidak mempersoalkan agama orang
lain.”
“Saya sendiri sebagai
orang Katolik di desa tidak pernah mencoba mengibarkan bendera Katolik, tetapi
bagaimana menghayati nilai-nilainya sebagai bekal untuk bergaul dengan
siapapun. Jadi garam itu tak perlu kelihatan. Jadi terang pun jangan sampai
membuat silau orang lain,” tuturnya.
Merawat Sungai
Sama halnya Haryanto
di Kulonprogro, di Muntilan ada sosok inspiratif Purnomo Widyo Nugroho atau yang populer dengan nama Mas Cathak. Ia menjadikan aktivitas
merehabilitas lingkungan untuk srawung
dengan berbagai kalangan lintas agama maupun status sosial.
Lima tahun lalu ia memutuskan untuk kembali ke kampungnya di Muntilan setelah
lama hidup di Yogyakarta, antara lain tiga tahun sebagai guru TK. Dia tergerak
untuk merehabilitasi lahan-lahan yang rusak parah akibat penambangan pasir,
dengan reboisasi Ia juga menjadi inisiator untuk membersihkan sungai-sungai
dari sampah. Jika hulunya bersih, diharapkan di hilir airnya lebih sehat.
Petani berproduksi dengan air yang berkualitas baik, hasilnya pun pasti akan
lebih berguna, tuturnya.
“Kami tanami lahan-lahan yang rusak dengan kopi dan aren. Kami rawat sungai
dari polusi sampah. Jangan sampai hal yang ironis terjadi. Air berlimpah, tapi
akhirnya air harus beli,” tutur Mas Cathak.
Dia punya alasan memilih kopi dan aren sebagai tanaman untuk reboisasi
lahan yang rusak. “Kopi itu
kan relatif tanaman yang sangat cerdas. Tanaman vegetatif, sebagai komoditas
tidak diragukan lagi, bahkan sampai 20 atau mungkin 40 tahun ke depan pasar
kopi Indonesia masih aman, masih sehat. Tanaman
ini bisa untuk menjaga mineral,” kata Mas Cathak yang juga aktif di lembaga
SESAMI (Sedya
Samahita Memetri Indonesia) yang kegiatannya
juga berkisar soal lingkungan.
Kegitan bersih-bersih sungai dilakukan setiap hari Jumat. Awalnya diikuti 3
orang, lalu 8 orang, terus berkembang,
saat ini 30 orang masuk ke sungai untuk bersih-bersih. Ada 9 sungai yang semuanya bermuara di sungai Progo.
Selain itu Mas Cathak dan kawan-kawan juga aktif menanam pohon di sekitar
mata air. Akhir Juni lalu, misalnya, mereka menanam 350 pohon. “Kalau tidak ditanam di dekat mata air,
kami tanam di lahan warga yang sempat terkena longsor. Aren bagus untuk menjaga tanah dan menahan air. Warga di
kampung ini ada yang pekerjaannya nderes aren untuk produksi gula aren. Jadi klop lah.”
“Saya percaya ruang dan
waktu. Kalau sudah sampai masanya semuanya akan bertemu antara kopi, mata air,
sampah, dan nanti dengan sekian konsep yang akan dimasukkan ke Kulon Progo
seperti bedah Menoreh, Samigaluh kota Satelit. Itu menjadi bahan diskusi kami
di kelompok kecil maupun besar. Ketika sekarang Samigaluh sangat hits dengan
tempat-tempat wisatanya, orang tidak akan datang lebih dari dua kali jika kita
tidak bisa menjaga lingkungan tetap bersih,” katanya.
Sekalipun banyak hal yang dilakukannya bersama teman-temannya untuk menyehatkan lingkungan, Mas Cathak
tidak ingin menjadi ‘hero’. Semua
itu dijalani biasa saja. “Merawat
air, menanam pohon itu bukan hal-hal hebat, sudah selayaknya. Tidak perlu
banyak selebrasi, memasang banner-banner penanaman pohon tetapi tidak mau
merawatnya kemudian. Ketika kamu berterimakasih diberi tempat untuk hidup,
tumbuh, dan berkembang, ketika kamu lelah melihat beton-beton dan masih punya
kesempatan untuk melihat pepohonan hijau, ya sudah selayaknya kan kamu menanam
pohon?”
Patut Diapresiasi
Bagi ketua Penghubung Kerasulan
Kemasyarakatan Keuskupan Agung Semarang (PK4AS), Rama
Raymundus Sugihartanto Pr, gerakan-gerakan awam dalam aneka bidang
kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan hidup,
kemanusiaan, dll, perlu diapresiasi.
“Ini merupakan wujud
keterlibatan umat atau awam dalam menggereja dan memasyarakat. Kerasulan awam
adalah ladang bagi awam atau umat untuk ikut ambil bagian dalam karya Gereja di
tengah masyarakat,” tuturnya
Di Keuskupan Agung Semarang
(KAS), bidang-bidang yang digeluti awam itu beragam. Namun gerakan-gerakan ini
masih dalam skala akar rumput. Kecuali dalam bidang tertentu seperti politik,
ekonomi, sosial, budaya, yang secara khusus telah diwadahi dan ditangani PK4AS
(Kerawam: Kerasulan Awam), bidang-bidang tersebut lebih terstruktur dan
tertata.
Sudah ada jejaring dari
tingkat KWI, regio Jawa, keuskupan, kevikepan, hingga paroki. Tema-tema
tertentu yang sudah dicanangkan KWI akan menjadi acuan bagi jejaring yang di
bawahnya, kata Rama Sugi
Sedangkan bidang-bidang
lainnya, misalnya lingkungan hidup, kemanusiaan, masih merupakan gerakan atau
kelompok minat. Karenanya, gerakan dari awam masih harus terus diperjuangan.
Lalu seberapa pentingkah
umat terlibat di masing-masing bidang kemasyarakatan? Karena namanya kerasulan
awam, maka yang harus bergerak adalah umat awam. Merekalah yang harus menggeliat
dan mengelola kebutuhan masing-masing. Dengan melibatkan awam, akan ada banyak
orang yang ahli di bidangnya, yang akan terlibat. Tentunya dengan semangat
seperti motto penggembalaan Bapa Uskup yaitu Quaerere
et Salvum Facere (mencari dan menyelamatkan).
Selain itu, umat awam perlu
menghidupinya dengan spirit
inkarnasi, yaitu yang mau datang dan terlibat. Semua sadar bahwa itu adalah
karya keselamatan Tuhan yang
diberikan untuk kita. Orang yang mau dan mampu, hendaklah memberikan diri
dengan cara terlibat dalam bidang tertentu.
Rama Sugihartanto pun
berpesan, “Khusus bagi yang sudah terlibat, mantap saja, sambil terus belajar
karena perubahan zaman itu menantang kita untuk melek. Kerasulan yang kita kerjakan ini menjawab persoalan apa
tidak sih. Jangan-jangan tenaga dan uang banyak keluar tetapi tidak memberi
daya ubah, karena memang bukan kebutuhan atau sesuatu yang dibutuhkan oleh
masyarakat.”
Selanjutnya Rama Sugi juga
menambahkan, “Untuk yang belum terlibat, energinya mau dibawa ke mana? Iman
yang sehat itu ketika ia mau berpartisipasi, mau hadir, mau bergerak dan mau
hidup di tengah masyarakat.” ***marcelinus tanto pr, elwin, warih, anto
Tidak ada komentar