Menghargai Bangsa Lewat Pemilu
Menghargai Bangsa
Lewat Pemilu
Bulan
depan, tepatnya 17 April 2019, negara Indonesia akan menyelenggarakan ‘pesta demokrasi’, pemilihan umum serentak untuk memilih presiden dan wakilnya, anggota DPD, DPR, DPRD Provinsi, serta DPRD
Kabupaten/Kota. Tidak banyak lagi terlihat pawai-pawai yang mengandalkan jumlah
massa yang besar. Tapi, suasana hingar bingar menjelang ‘pesta’ lebih diwarnai berbagai hoax, fitnah, dan ujaran kebencian melalui media sosial. Dan
sentimen agama juga mewarnai digunakan
dalam kampanye secara masif. Gereja prihatin melihat fenomena ini dan berharap
umat tetap menggunakan hak pilihnya secara cerdas.
“Gunakan
hak pilih kita. Jangan Golput atau tidak mencoblos. Ini bagian dari tanggung
jawab umat Katolik pada negara bangsa Indonesia,” demikian wanti-wanti Ketua Penghubung Karya
Kerasulan Kemasyarakatan Keuskupan Agung Semarang (PK4AS) Rama Raymundus Sugihartanto Pr, kepada
umat Katolik KAS melalui Salam Damai.
Lima
menit di bilik pencoblosan saat 17 April 2019, besar pengaruhnya bagi
kelangsungan negara-bangsa, berasaskan Pancasila ini, serunya. (Lihat: “5 Menit yang Menentukan 5 Tahun Nasib
Bangsa”)
Pemilu
yang serentak ini merupakan peristiwa
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain memilih presiden, wakilnya, serta
anggota legislatif, kelangsungan hidup partai-partai politik pun ditentukan
melalui peristiwa ini.
Suasana menjelang
pemilihan umum memang sudah memanas. Keutuhan
bangsa mengalami ancaman serius di tengah arus radikalime dan fundamentalisme
agama. Uniknya justru soal-soal agama itu tampak digunakan sebagai bahan
kampanye yang masif, bersamaan dengan pemakaian caci maki dan mencari-cari
kesalahan pihak lain dalam kontestasi ini.
Gereja tidak dapat berpangku tangan. Gereja tidak bisa
memisahkan diri dari realitas dunia. Melalui Gaudium
et Spes (GS), Gereja mengajak umat beriman untuk mendalami dan mengembangkan kesadaran diri, sebagaimana disebutkan pada GS 1: Kegembiraan dan harapan,
duka dan kecemasan orang-orang dewasa ini, khususnya mereka yang miskin, dan
mereka yang menderita, adalah juga kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan
para pengikut Kristus. Sebab, orang-orang kristiani adalah juga anggota
keluarga manusia.
Rama Sugihartanto mengemukakan Gereja sejak awal
telah memberikan tuntunan kepada umat seperti tertuang dalam RIKAS, ARDAS, dan
Nota Pastoral 2018-2019.
“Isinya mengajak umat
untuk sungguh-sungguh ikut pemilu sebagai wujud imannya dalam mencintai
masyarakat dan bangsa. Dengan dasar itu kemudian diterjemahkan sampai ke
program-program, termasuk dalam pertemuan-pertemuan Dewan Pastoral Keuskupan.
Dalam 3 tahun ini keterlibatan Gereja di tengah kehidupan masyarakat diberi
peranan,” ucapnya.
Gereja berharap, umat Katolik ikut terlibat. Maka PK4AS membuat
berbagai macam pendampingan. Dari pendampingan terhadap calon yang akan
terlibat, untuk calon penyelenggara, untuk anak-anak muda yang ingin ikut jadi
pengawal, dan untuk umat. Jadi semua lini kita ikut masuk dan berperan di dalam
mendmpingi mereka semua.
“Untuk para calon
legislatif, tim PK4AS mengadakan pertemuan bersama dengan Rama Vikjen.
Pertemuan ini bertujuan mensupport mereka dengan ikut mempublikasikan di dalam
pertemuan-pertemuan yang kami selenggarakan. Selain itu, masih kami upaya untuk
membuat daftar per dapil (daerah pemilihan) supaya para rama dan para umat tahu
bahwa calon-calon legislatif Katolik yang ikut dalam event ini,” tandas Rama
Sugihartanto.
Untuk penyelenggara,
PK4AS mengadakan pertemuan untuk diadakan pendampingan. Dan nyatanya, kemudian
ada yang bisa masuk. Artinya, kita ikut menyumbangkan orang yang terbaik bagi
bangsa dan negara.
Lalu,
untuk umat,
ada pertemuan di tingkat kevikepan, di rayon, di paroki, dan juga
kelompok-kelompok. PK4AS mendampingi mereka supaya mempunyai antusiasme di
dalam kegiatan pesta demokrasi. Selain itu juga ikut mempelajari
regulasi-regulasi yang ada. Sampai menggerakkan umat untuk menggunakan hak
pilih.
Selain
pertemuan-pertemuan tersebut, ada banyak hal yang dibuat PK4AS. Seperti,
membuat bahan pertemuan lingkungan, dengan menumpang buku renungan APP.
“Kami
juga bekerja sama dengan komsos membuat tayangan youtube untuk bisa memacu umat semakin bergairah. Bapak Uskup pun
membuat untuk pesan demokrasi. Kami juga menjumpai para rama dalam kolasi dan
biarawan, biarawati dalam pertemuan ikhrar,”
tutunya.
Jangan Asal Pilih
Sementara itu, anggota PK4AS sekaligus mantan
anggota KPU Jawa Tengah Andreas
Pandiangan mengatakan, sebagai warga negara umat Katolik memiliki
hak pilih yang harus digunakan. “Pilihan ini
mau tidak mau akan mewarnai kehidupan untuk 5 tahun ke depan,” tegas Andreas.
Selanjutnya ia
mengatakan, RIKAS dengan jelas mengatakan perihal peradaban
kasih. Dan peradaban kasih
ini dapat dicapai salah satunya dengan cara memilih. Tujuannya, supaya kita
dapat memilih pemimpin yang dapat mewujudkan peradaban kasih.
“Namun demikian, memilih
itu tidak boleh asal
memilih. Memilih harus
ada dasarnya. Dasar kita memilih, pertama,
kita harus memastikan bahwa program yang ditawarkan oleh si calon akan membuat masyarakat Indonesia lebih sejahtera
atau lebih baik,” ucap dosen
Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata ini.
Lanjutnya, pemilu
ini berkaitan erat dengan kehidupan kebangsaan kita. Kecemasan yang selama ini
ada adalah adanya kelompok-kelompok yang menawarkan ideologi lain selain
Pancasila. Banyak survey
yang menjelaskan tentang hal ini. Dan ini bisa menjadi pegangan kita memilih
dalam pemilu nanti. Jadi dalam memilih kita sadar bahwa apa yang kita pilih itu
demi kelangsungan kebangsaan kita; bukan hanya sekedar memilih saja atau
memenuhi kewajiban saja.
Masih menurut Andreas
Pandiangan, jika kita tidak memilih, pertama, dari sisi kebangsaan, kita tidak peduli
terhadap bangsa kita. Kedua, dari sisi praksis pemilunya, kita tidak peduli
terdapat keberlangsungan bangsa kita di masa mendatang.
“Ketika kita
tidak peduli dengan pemilu, maka jangan berteriak kalau kita diabaikan dalam
proses pembuatan keputusan,” tuturnya.
Keikutsertaan Caleg Katolik
Dalam pemilu tahun
2019 ini, jumlah caleg katolik mengalami peningkatan. Caleg katolik ini di KAS
ini meliputi sebagaian besar Jawa Tengah dan seluruh DIY. Harus diakui
peningkatan jumlah caleg ini berkat perpaduan banyak faktor. Salah satunya
faktor bagaimana Gereja selama ini mendorong umatnya untuk terjun ke masyarakat
dan dunia politik. Inilah salah satu buahnya.
“Namun, ada pula
persoalannya. Rupanya para caleg Katolik ini tidak seluruhnya memiliki modal
sosial yang cukup kuat di luar umat Katolik. Tidak seluruhnya punya pengalaman
dengan masyarakat di luar Katolik, apalagi tidak dikenal. Ini menjadi tantangan
bagi si caleg dan juga bagi Gereja KAS supaya lebih banyak lagi caleg Katolik
ini berhasil,” tegasnya.
Andreas menambahkan,
secara statistik kepemiluan, untuk seluruh suara umat Katolik KAS tidak bisa
diandalkan untuk mendukung caleg Katolik. Ini berarti tidak cukup suara.
Seandainya pun seluruh suara umat Katolik mendukung si caleg, itu hanyalah
bonus suara. Artinya, si caleg harus bekerja di luar umat Katolik.
Saat ini ada sekitar
320 caleg Katolik di KAS, yang meliputi sebagian Jawa Tengah dan seluruh DIY.
Ini merupakan jumlah yang cukup signifikan. Jumlah caleg Katolik Kevikepan
DIY lebih banyak dibandingkan Jawa
Tengah. Ini tugas Gereja dan ormas Katolik untuk mengorganisir minat umat untuk
mencalonkan diri sebagai calon legislatif.
Hal penting lain yang dikemukakan Andreas adalah soal keikutsertaan
umat dalam aspek pengawasan. Yaitu menjadi pengawas partisipatif.
“Di beberapa
tempat saya sudah menganjurkan adanya gerakan awam yang khusus untuk
mengawal saat penghitungan suara di TPS.
Karena itu relatif rawan jika tidak ditunggui. Meski ada KPPS dan saksi, namun
karena penghitungan kadang sampai subuh maka situasinya cukup rawan terhadap
kecurangan.,” tuturnya.
Terlibat sebagai Penyelenggara
Paulus bergabung
dengan KPU Jawa Tengah sejak 24 September 2018. Sebelumnya 2 periode ketua KPU
Kebumen sejak 2008-2018. Kemudian ikut seleksi untuk KPU Jawa Tengah dan
diterima.
“Sejak dulu saya
mempunyai minat terhadap kehidupan demokrasi terutama pemilu di Indonesia.
Sejak menjadi mahasiswa Undip saya sudah aktivis di GMNI dan memegang divisi
data dan informasi terkait dengan pemilu zaman orde baru,” kenang umat Paroki
St Yohanes Maria Vianney Kebumen, Keuskupan Purwokerto.
Lalu tahun 2007, ia
bersama teman-teman dari kelompok Cipayung dan dari elemen lain ikut
bersama-sama mendirikan KITP Jawa Tengah tahun 1997. Dari situ ia tertarik
dengan pemilu. Baru tahun 2008 ia ikut mendaftar dalam seleksi KPU Kebumen dan
masuk Oktober 2008. Tahun 2013 menjadi ketua KPU Kebumen sampai 2018.
Menurut Paulus,
keterlibatannya di demokrasi dan kepemiluan pastilah didasari oleh iman. Ini
merupakan panggilan kita sebagai umat awam, kita ditugaskan untuk kehidupan
bermasyarakat. Sebagai orang Katolik, kita hadir di tengah pergolakan yang ada
di masyarakat. Dan saya memilih di bidang kepemiluan ini.
“Keterlibatan saya di
dunia kepemiluan selalu membangun koordinasi dengan Gereja Katolik. Di
Keuskupan Purwokerto pun saya masih tercatat sebagai anggota Komisi Kerasulan
Awam. Jadi kita masih mewakili suara Gereja. Ini begitu penting bagi saya,”
tegasnya.
Kehidupan politik
orang Katolik, menurutnya, terbagi dua. Dan jaraknya cukup
besar. Ada orang Katolik yang sangat intens memperhatikan bidang politik dan
menjadikan politik itu begitu penting. Tetapi di lain pihak ada sebagai umat
yang apatis dan menganggap politik itu sebagai sesuatu yang kotor. Sehingga
mereka sama sekali apatis dan menganggap tidak penting.
“Kalau secara hirarki
di tingkat keuskupan, saya melihat beberapa keuskupan dan juga KWI melihat
dunia politik ini begitu penting. Seperti di KAS, saya melihat ada nota
pastoral untuk menggugah kehidupan umat untuk terlibat dalam sosial kemasyarakatan dan politik. Mulai dari
Gereja mengajak umat untuk tidak apatis terhadap kehidupan politik. Karena
bagaimanapun juga kehidupan menggereja kita tidak boleh meninggalkan kehidupan
riil kita. Karena politik ini merupakan kehidupan riil. Kehidupan masyarakat
itu mau tidak mau juga dipengaruhi kehidupan politik. Bagaimana Gereja bisa bertahan
hidup, Gereja bisa bermasyarakat, itu juga salah satu bagian dari politik,”
kata Paulus.
Ia menegaskan,
keterlibatan umat Katolik untuk tampil dalam jabatan-jabatan publik juga
penting. Ini harus didorong terus. Karena dari tahun ke tahun jumlah pejabat
publik Katolik tidak semakin signifikan. Maka, umat Katolik yang kira-kira
berpotensi harus didorong untuk berani tampil. Karena banyak sekali orang
Katolik yang berpotensi, namun mereka seakan ragu, atau dalam bahasa Paulus: sindrom minoritas.
“Kita punya kemampuan,
kita punya kekuatan. Ayolah umat Katolik berani terlibat dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagaimana kita bisa mewujudkan bonum
commune kalau kita tidak terlibat di dalamnya,” ajak Paulus.
Berbicara tentang
caleg Katolik di Jawa Tengah, menurut Paulus, secara jumlah caleg Katolik
belumlah representatif. Tapi sudah ada. Hal ini harus kita konsolidasikan sejak
awal. Maka perlu diperhatikan bagi orang Katolik yang benar-benar mau menjadi
caleg, pertama, adalah melalui
jenjang yang paling bawah. Artinya ada pengkader yang betul-betul pengkaderan,
baik pengkaderan dari partainya sendiri maupun pengkaderan dari Gereja. Tidak ujuk-ujuk atau tiba-tiba menjadi caleg.
Dengan demikian orang tersebut kualitasnya benar-benar sudah teruji.
Kedua, adanya pengaturan.
Jangan sampai dalam satu dapil (daerah pemilihan) umat Katolik yang berebut
bisa banyak, misalnya ada 3 atau 4. Ini justru akan memecah suara umat dan
tidak fokus.
Ketiga, suara umat Katolik
terutama di daerah-daerah suara umat tidak bisa mendapatkan kursi atau suara.
Maka suara umat Katolik harus digabung dengan suara dari umat lain. Caleg
Katolik juga harus berani keluar, tidak hanya meraup suara dari internal umat
Katolik, tetapi harus berani meraup dari luar juga.
Tentang kualitas caleg
Katolik, Paulus melihat banyak caleg Katolik yang memiliki kualitas yang
tinggi. Hanya perlu didorong agar mereka untuk berani lebih keluar. Caleg
Katolik mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibanding caleg yang lain. Caleg
Katolik memiliki kemampuan bersosialisasi, kemampuan bermanajemen, namun
beberapa masih sindrom minoritas-nya
masih tinggi.
Nama
umat Katolik lain yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu adalah Ignatius Bambang Sarwodiono, anggota
KPU Kota Magelang. Berbagung sebagai anggota KPU pada 24 Oktober 2018.
Sebagai
orang Katolik dan sebagai komisioner di KPU, menurutnya, ada kesamaannya, yaitu
sama-sama dituntut untuk jujur. “Kejujuran itu yang menjadi dasar saya melamar
menjadi anggota KPU. Karena kejujuran itu yang melandasi sikap netral, adil,
dan tidak pilih kasih,” tuturya.
Jadi
semua harus sama. Kita sebagai KPU harus jujur, netral, dan berintegritas. itu
prinsip saya yang dilandasi dengan iman Katolik, istilahnya kasih. Kita harus
mengasihi sesama, tidak membeda-bedakan sebagai komisioner KPU.
Gereja,
menurutnya, sangat medukung umatnya yang
ingin berkiprah di bidnag politik. “Kami diminta untuk sosialisasi di Dewan Paroki.
Dari lima komisioner KPU dan ada satu yang dari Katolik itu mereka sangat
mendukung. Gereja mendorong untuk tidak golput.”
Dia
menilai, Gereja tidak terlalu mencampuri urusan politik. “Mungkin karena
dogmanya seperti itu ya. Tapi secara moral, Gereja mendukung kehidupan
masyarakat yang lebih baik,” tuturnya.
Sebagai
anggota Bawaslu, dia ingin umat Katolik khususnya para OMK terlibat dalam
pengawasan partisipatif, untuk mencapai Pemilu yang bermartabat.
Nama
lain umat Katolik yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu adalah Odilia Amy Wardayani. Ia
Ketua Bawaslu
Kabupaten Kendal.
Dunia demokrasi dan
pemilu rupanya tak hanya milik kaum adam. Kaum hawa pun berperan. Inilah yang
diyakini Odilia Amy Wardayani. Saat ini ia bersama empat anggotanya bekerja keras mengawasi pelaksanaan pemilu
di Kabupaten Kendal.
Odilia aktif di
Bawaslu Kendal sejak dilantik tanggal 17 Agustus 2018. Ia sendiri berkecimpung
di dunia pengawasan pemilu sejak 2008 dengan jenjang karier yang berbeda-beda.
“Mengapa saya ada di
Bawaslu? Bagi saya, pengawasan pemilu itu sangat penting karena sangat
menentukan hasil dari pelaksanaan pemilu. Tanpa adanya pengawasan, kualitas
atau hasil dari event demokrasi itu tidak maksimal dan kurang berkualitas,”
tegasnya.
Umat Paroki St
Antonius Kendal ini mengakui, bahwa keterlibatannya di dunia kepemiluan ini
didasari oleh semangat imannya. “Sebagai pengikut Kristus saya harus bisa
mempengaruhi hal yang baik menurut ajaran Kristus. Karena seorang pengawas itu
harus bisa menegakkan yang benar, sesuai dengan aturan, dan tidak boleh
melakukan kecurangan. Dan ini terkait dengan integritas. Nah, inilah yang ingin
saya tunjukkan di dunia pengawasan pemilu bahwa sosok seorang Katolik itu bisa
diandalkan.”
Tambahnya lagi,
teman-temannya sangat tahu ia seorang Katolik. Kendal adalah kota yang berbasis
non Kristiani. Semua tokoh agama dan tokoh masyarakat serta kepala pemerintahan
tahu jika ia adalah seorang Kristiani. Dan itu tidak menjadi masalah baginya.
Karena ia selalu menyajikan ‘inilah saya’. Jadi ia tidak masalah ketika harus
mengawasi di pondok pesantren atau masjid atau di tempat ibadah yang lain. Dan
ia selalu menunjukkan ‘inilah saya: Odilia’.
Gereja Katolik juga
mendukungnya. Dalam hal ini Gereja St Antonius Kendal mensupport kegiatannya
ketika berkecimpung di bidang pengawasan pemilu. Support ini dalam arti
menguatkan morilnya. “Rama selalu memberi pesan kepada saya untuk tetap menjaga
integritas dan totalitas sesuai dengan ajaran Gereja.”
Odilia melihat
kehidupan politik orang Katolik, khususnya di Kabupaten Kendal, itu masih
kurang kepeduliannya tentang bernegera. Seperti misalnya contoh ketika ada
program ada pendaftaran pengawas di tingkat kecamatan, di tingkat desa, di
tingkat TPS, lalu ia informasikan ke umat Katolik, dari 2008 sampai sekarang
ini hampir tidak ada. Ia tidak tahu apakah mereka kurang menerima informasi
atau tidak minat.
Mengapa bisa begitu?
“Saya pernah menjadi ketua WKRI Ranting Patebon. Saya selalu menginformasikan
untuk kesadaran berpolitik dan bernegara; dan kita sebagai seorang Kristiani
ini kesempatan untuk turut menentukan kebijakan. Namun tidak ada respon. Itu
dari 2008-2014. Sekarang ini saya juga selalu mengajak, tetapi tetap tidak ada
respon. Atau mungkin, umat Katolik merasa umat minoritas. Tidak hanya orang
Katolik, orang Kristen juga.”
Odilia pun menghimbau,
mari kita ikut memikirkan negara ini sebagai pemilih yang cerdas. Tentunya
dengan melihat, (1) visi misi yang memikirkan kesejahteraan masyarakat bersama.
(2) Sebagai umat Kristiani, marilah kita juga mengawal pemilu ini untuk bisa
berjalan sesuai dengan aturannya, supaya hasil dari demokrasi ini tidak
mengecewakan.***marcellinus tanto pr, warih, elwin, anto
Tidak ada komentar