Bersama-Sama Wujudkan Kesejahteraan Umum!
Tahun lalu arah
pastoral Keuskupan Agung Semarang (KAS) berbicara tentang kesejahteraan primer
dan masih berkutat pada warga Gereja. Namun di tahun 2019 ini, Gereja semakin
inklusif. ‘Kesejahteraan Umum’menjadi target dan arah pastoralnya.Pesta
demokrasi pada 17 April nanti, yakni pemilihan
presiden, anggota-anggota DPR/DPRD, serta DPD yang serentak, menjadi salah
satu rujukan Gereja untuk‘mewujudkan kesejahteraan umum’. Bagaimana Gereja
memandangnya? Kesejahteraan umum seperti apa yang akan dicapai?
KESEJAHTERAAN umum (bonum commune), bukanlah hal baru bagi Gereja. Menurut rumusan Konsili Vatikan II (Gaudium et Spes – Kegembiraan dan
Harapan, Art. 26) adalah “keseluruhan
kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok
maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar
mencapai kesempurnaan mereka sendiri.”
Dengan rumusan itu, Gereja hendak menekankan bahwa kesejahteraan tidaklah
beraspek materi belaka. Tekanannya adalah pada
upaya mewujudkan tata hidup bersama yang menghadirkan kondisi dalam masyarakat
yang semakin memungkinkan semua komponen masyarakat mencapai kondisi hidup yang
bermartabat melalui peningkatan kualitas demokrasi, pemilu, srawung, dialog, dan lainnya. Dengan
demikian, relasi antara kesejahteraan dan politik sangatlah terang benderang.
Vikaris Jenderal (Vikjen) Keuskupan Agung Semarang (KAS) Rama Yohanes Rasul Edy Purwanto Pr menegaskan, kesejahteraan
umum adalah kata kunci dari
fokus pastoral Keuskupan Agung Semarang 2019.
Rama Edy, yang juga Ketua Dewan Karya Pastoral (DKP) KAS, menjelaskan, “DKP melihat bahwa politik itu adalah bagian dari
sesuatu yang lebih luas, yakni tentang kesejahteraan umum atau bonum commune. Politik yang baik adalah
politik yang mampu menghadirkan kebaikan atau kesejahteraan bersama,” ucap Rama
Edy.
Maka itu kemudian fokus
pastoral DKP 2019 menetapkan untuk
melanjutkan tema kesejahteraan yang ditetapkan pada 2018. Jika tahun lalu lebih pada kesejahteraan primer -yakni pangan, sandang, dan papan-, maka aspek kesejahteraan pada 2019 menyangkut pendidikan, pekerjaan dan kesehatan.
“Kesejahteraan
umum ini tidak bisa dipisahkan dari cita-cita besar KAS, yakni peradaban kasih, yang digariskan
dalam Rencana Induk KAS 2016-2035. Peradaban kasih itu diupayakan melalui tiga ‘pintu’, yakni sejahtera, bermartabat, dan
beriman,” ungkap Rama Edy Purwanto.
Meminjam
istilah Santo Paulus, Rama Edy menjelaskan, sejahtera itu terkait dengan tubuh,
bermartabat berhubungan dengan jiwa, dan beriman itu terkait dengan roh. Maka Santo Paulus dalam surat pertama
kepada jemaat di Tesalonika mengatakan, “Semoga tubuh, jiwa, dan rohmu terpelihara sampai kedatangan Kristus
kelak.”
Jadi, ada tiga dimensi
dalam kehidupan ini, yakni tubuh, jiwa, dan roh.
Dan
bila membaca RIKAS, lanjut dia, maka tiga kata atau pintu masuk: sejahtera, bermartabat, beriman, itu
bisa disejajarkan atau dianalogkan dengan tubuh, jiwa, dan roh. “Jadi sejahtera punya dimensi yang komperehensif. Tidak hanya tentang politik, tetapi
juga menyangkut masalah budaya, hukum, lingkungan hidup, serta hal-hal yang
lain.”
Pelaku Fokus Pastoral
Pelaku utama dari fokus pastoral
tahun ini adalah
umat Allah KAS, tegas Rama
Edy. Mengapa? “Kami tidak mau, bahwa tidak
ada umat yang tidak terlibat. Artinya, kami mau bahwa semua umat itu terlibat
dalam upaya mewujudkan kesejahteraan umum ini, pada tingkat masing-masing dan
di lingkungan masing-masing. Tentu dengan digerakkan oleh semangat yang
dihembuskan oleh DKP dan juga yang dirancang dalam RIKAS kita,” tegas Vikjen
KAS.
Apakah
ada program atau agenda yang telah atau akan dicanangkan oleh Gereja KAS untuk
mewujudkan bonum commune? KAS tidak mencanangkan program. Yang mencanangkan program adalah
paroki-paroki. Keuskupan tidak mendikte paroki-paroki. Tetapi melalui DKP,
melalui komisi-komisi, mencoba menginspirasi, atau memberi bentuk yang pada
akhirnya diharapkan itu mendorong dan menginspirasi, serta menjadikan
paroki-paroki memiliki ketajaman, melihat apa yang paling relevan, apa yang paling
sesuai, dengan situasi paroki masing-masing, atau rayon masing-masing, atau
kevikepan masing-masing.
“Ini sejalan
dengan kebijakan Bapa Uskup dalam kaitannya dengan menjadikan kevikepan sebagai
pusat kegiatan pastoral. Jadi segala kegiatan itu tidak lagi dilakukan oleh
komisi di tingkat DKP, tetapi justru dilakukan di tingkat kevikepan, rayon,
atau paroki. Harapannya semakin banyak melibatkan banyak orang dan semakin
menyadarkan banyak umat,” tutur Rama Edy, Ketua DKP KAS itu.
Terkait
dengan tolok
ukur kesejahteraan
umum, Rama Vikjen mengatakan, “Salah satunya, karena ini tahun politik, maka kesejahteraan itu menjadi konkret
ketika umat Katolik tidak lagi acuh tak acuh terhadap peristiwa politik yang
terjadi pada tahun 2019 ini, terlebih terkait dengan pileg (pemilihan
legislatif) dan pilpres (pemilihan presiden).”
“Ketika umat
Katolik tidak acuh tak acuh, artinya, umat Katolik yang sudah mempunyai hak
pilih itu terlibat dalam pemilu dengan memberikan suaranya. Memilih
pemimpin-pemimpin yang baik, memilih wakil-wakil rakyat yang baik, maka dengan
begitu kesejahteraan umum pada tingkat tertentu sudah terwujud,” tegasnya.
Berikutnya,
lanjut
dia, umat Katolik
bersama masyarakat pada umumnya, masih mempunyai tugas, yaitu mengawasi yang
dipilih sebagai wakil rakyat, mengawasi yang dipilih sebagai pemimpin rakyat,
di dalam menjalankan tugas dan peran mereka sebagai pemimpin dan wakil rakyat.
“Supaya mereka
benar-benar menjalankan aspirasi rakyat yang telah memilih mereka. Sehingga
nanti produk legislasi baik undang-undang, perda-perda, dan aturan-aturan lain yang mereka hasilkan benar-benar berpihak kepada
terwujudnya kesejahteraan rakyat. Di sinilah tampak bahwa kesejahteraan umum
itu menjadi nyata. Jadi mewujudkan kesejahteraan umum itu tidak secepat membalikkan
telapak tangan. Tetapi kesejahteraan umum itu terwujud dalam sebuah perjalanan
perjuangan bersama,” tegasnya
“Mari kita bangun Gereja kita, kita bangun masyarakat kita, kita bangun bangsa kita! Kita harus semakin peduli, lebih bekerja keras untuk mewujudkan
peradaban kasih di tengah-tengah kehidupan bersama. Karena sekali lagi, kita
melihat juga bahwa dari hari ke hari di tengah masyarakat kita yang mengemuka
itu bukan peradaban, tapi kecenderungan untuk semakin menjadi tuna-adab atau
ketiadaan adab, untuk tidak mengatakan secara kasar: tidak beradab,” ucap Rama
Edy.
Rama
Edy juga menegaskan, bahwa peradaban kasih juga merupakan amanat dari Pancasila
sila II: kemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya apa? Artinya, apa yang
diperjuangkan oleh Gereja itu sangat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Berketuhanan, berperikemanusiaan, berpersatuan,
berkemasyarakatan/bermusyawarah, dan berkeadilan sosial.
Itu
sangat sesuai dengan inti perjuangan Yesus. Misi kedatangan-Nya ada dalam Injil
Lukas 4: 18-19 (Roh Tuhan ada pada-Ku…). Ini tampak bahwa perjuangan Yesus
adalah perjuangan kemanusiaan dan pemerdekaan, tuturnya.
Bukan Hal Istimewa
Sebagai ketua komisi Pengembangan Sosial
Ekonomi (PSE) KAS yang kerap berkutat dengan
persoalan kesejahteraan orang kecil, Rama
Yohanes Krismanto Pr, menanggapi kesejahteraan umum sebagai fokus pastoral
KAS 2019 ini sebagai hal yang biasa dan bukan istimewa.
Menurutnya,
kalau berbicara tentang kesejahteraan umum atau bonum cummune, pertama, kita harus memahami pengertian arti
katanya. Kesejahteraan umum itu adalah segala macam prasyarat atau kondisi
dalam masyarakat yang memungkinkan setiap kelompok juga perorangan yang ada di
dalamnya dapat lebih mudah memperjuangkan hidupnya atau hak-hak yang paling
dasar dari hidupnya.
“Maka
terkait dengan kesejahteraan umum ini tentunya juga kami dari Komisi PSE KAS sendiri tidak
membuat sesuatu yang baru. Karena apa yang sudah dibuat sejak awal adanya
lembaga ini, bahkan sejak adanya Gereja, juga menanggapi masalah kesejahteraan
umum, bagaimana setiap orang dapat diterima, dapat memperjuangkan hidupnya dan
lebih layak,” tandasnya.
Melihat
realitas bahwa di tengah masyarakat, kita bisa menjumpai bahwa masih banyak
orang yang tidak mampu dan perlu dibantu agar dapat memperjuangkan hidupnya dan
hak-haknya dengan lebih mudah. Ada orang-orang yang tersingkir, orang-orang
yang cacat, miskin, atau orang-orang yang tidak mempunyai power dalam hidupnya.
“Bagi
saya berbincang tentang kesejahtaraan umum itu hal yang biasa atau tidak ada
istimewanya. Bagi saya inspirasinya adalah seperti yang saya katakan dalam Temu
Pastoral (Tepas), Januari 2019 lalu, dalam Injil Lukas 17:10: ‘Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu
yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: kami adalah hamba-hamba yang
tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan’,” tuturnya.
Maka
terkait dengan karya komisi PSE KAS, kesejahteraan materiil itu memang
diperhatikan, terlebih bagi mereka yang tersingkir. Terutama dalam hal ini,
bagaimana kesejahteraan primer baik tahap pertama maupun tahap kedua,
sungguh-sungguh dapat menjangkau banyak orang, satu demi satu mereka dibantu
agar dapat memperjuangkan hidupnya lebih mudah.
Entah
terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan,
maupun lapangan kerja. Jadi sebetulnya juga tidak ada yang baru atau istimewa.
Fokus pastoral 2019 ini masih melanjutkan perhatian Gereja dari tahun-tahun
sebelumnya, tutur dia.
“Mungkin
perhatian Gereja yang perlu digarisbawahi di sini - karena pemahaman umat dan
yang sering kali muncul - adalah sasarannya hanya pada orang-orang Katolik,
padahal tidak. Kita perlu menyadari bahwa kita bagian dari masyarakat. Maka
sebetulnya perhatian kepada kesejahteraan umum, dalam hal ini kesejahteraan
materiil, itu juga menjangkau setiap anggota masyarakat, tidak hanya
orang-orang Katolik saja,” tegas Rama Krismanto.
Keterlibatan Paroki
Dan apakah ini baru dimulai
pada tahun ini? Ini sebetulnya tidak. Banyak paroki pada tahun-tahun yang lalu
sudah membuka diri, dengan tidak berkutat pada orang-orang Katolik atau lingkup
pastoral Gereja saja; tetapi sudah kepada semua orang. Intinya, sasarannya
adalah manusia yang perlu dibantu, agar mereka dapat memperjuangkan hidupnya
lebih mudah.
Lalu
apa yang bisa dilakukan oleh umat? Umat dapat melakukan banyak hal. Tidak harus
dengan cara-cara yang besar. Dan sebetulnya, bisa di lingkungan tempat
tinggalnya, di
wilayah, di paroki, sudah membuat banyak hal. Perhatian kecil-kecil terhadap
tetangga di kanan dan kiri sudah dilakukan. Tidak hanya terhadap sesama umat Katolik, tetapi
juga umat non-Katolik yang semuanya juga umat ciptaan Tuhan yang Mahakasih.
Persoalannya
adalah sering kali kebaikan-kebaikan yang telah dibuat oleh umat itu tidak banyak
terdengar.
Contohnya, suatu kali ada tetangganya yang kesulitan pangan, umat juga tidak
segan-segan memberikan nasi, sayur, dan lauk. Namun seringkali kisah-kisah
kecil ini tidak sampai menjangkau banyak orang, atau dikisahkan atau
dinarasikan bagi banyak orang. “Sebetulnya sudah banyak gerakan yang terjadi di tengah Gereja, umat,
dan masyarakat. Dan keutamaan-keutamaan itu dibangun dari hal-hal kecil seperti
itu,”
tuturnya.
Pada
kesempatan ini, Rama Krismanto berpesan: “Bagi saya sederhana. Pertama, saya
selalu percaya bahwa di manapun ada orang baik. Dan kedua, berbuat baik itu tak
pernah rugi. Maka janganlah takut untuk berbuat sebuah kebaikan kecil setiap
hari dan kepada siapapun yang dijumpai. Dengan bahasa yang lain, jadilah berkat
untuk siapa saja dan apa saja. Namun sebaliknya, jangan menganggap bahwa yang
kecil dan sederhana itu mudah untuk dilakukan.”
Pendampingan
Menurut Petrus Puji Sarwono, pegiat sosial yang
sejak 2015 aktif di Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani, dan Nelayan (LPUBTN), pemberdayaan menjadi pilihan
untuk menyejahterakan dan memartabatkan
umat dan masyarakat. “Tetapi
tidak mudah melakukan hal itu, semudah membalikkan telapak tangan.”
Banyak
tantangan untuk menolong orang-orang
yang hidupnya belum beruntung untuk bangkit dari keterpurukan dan
kemudian memandirikan hidupnya dalam kebersamaan. “Kemandirian hidup dalam kebersamaan inilah yang disebut sejahtera dan
bermartabat, atau dengan kata lain terwujudnya bonum commune,” kata Puji Sarwono.
Dan ketika melakukan pemberdayaan, sekat-sekat agama, politik, etnis
ataupun golongan, memang harus dilepas. Keberdayaan masyarakat yang marginal,
menurutnya, adalah cita-cita semua agama maupun golongan politik. Tetapi
diakuinya hambatan-hambatan upaya pemberdayaan yang dikait-kaitkan dengan agama
bukannya tidak ada dalam prakteknya. “Banyak. Tetapi tidak menjadi alasan untuk
menyerah,” tuturnya.
Menurutnya, ada tiga prasyarat penting untuk melakukan pemberdayaan. Pertama butuh waktu lama selain ‘investasi’ tinggi. Yang kedua, hati dan jaringan pelaku pemberdayaan serta potensi dan kearifan lokal yang
dimiliki umat/ masyarakat yang didampingi. Dan yang ketiga adalah setia mendampingi dalam jatuh bangunnya umat dan
masyarakat yang didampingi.
Mengapa
butuh waktu lama dan investasi tinggi? “Butuh waktu lama dikarenakan yang kita garap manusianya. Mengubah cara
berpikir dan cara bertindak mereka. Mulai dari mengubah pola pikir,
internalisasi nilai-nilai sampai pada perubahan perilaku butuh waktu lama dan
butuh investasi tinggi.”
Setiap
umat atau masyarakat yang membangun keberdayaan jangka waktunya berbeda – beda.
Tergantung daya nalar, ketangguhan dan kesungguhan yang mereka miliki untuk
berdaya. Dari proses tersebut akan menemukan bentuk yang pas atau sesuai dengan
kebutuhan mereka melalui trial and error.
Istilah
gagal tidak dikenal dalam proses pemberdayaan, katanya. Seperti yang disampaikan Pater John
Dijkstra SJ: “Buluh yang patah terkulai tidak
akan dipatahkannya dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya” (disitir dari Yesaya 42 :
3). Yang ada adalah evaluasi dan aksi-refleksi: mengapa belum
berhasil dan cara
apa lagi yang harus ditempuh untuk bisa berhasil.
“Tentu saja proses tersebut butuh ‘investasi’ tinggi. ‘Investasi’ yang saya
maksud bukan hanya dana, tetapi juga tenaga dan pikiran,” tuturnya.
Ketika
kita tidak punya hati atau keberpihakan pada orang-orang yang hidupnya belum
beruntung (Kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir dan Difabel - KLMTD) kita tidak akan mampu
melakukan pemberdayaan. Ketika kita tidak mampu membangun jaringan kita juga tidak akan mampu melakukan pemberdayaan.
Jaringan inilah yang menolong kita atas keterbatasan daya yang kita miliki
untuk melakukan pemberdayaan. Ketika kita tidak mampu melihat potensi dan kearifan
lokal yang dimiliki umat dan masyarakat yang kita berdayakan, kita tidak juga
akan berhasil memberdayakan mereka.***marcelinus tanto pr, elwin, anto.
Tidak ada komentar