Pandangan Gereja tentang Bahasa Roh
Yth Rama Luhur Prihadi Pr. Beberapa waktu lalu saya untuk pertama
kalinya mengikuti persekutuan doa karismatik katolik. Di tengah-tengah doa
penyembahan, beberapa orang mengucapkan kata-kata ‘yang tak ada artinya’ yang
tak bisa dimengerti. Lalu kemudian saya baru tahu bahwa itu bahasa roh.
Pertanyaan saya, apakah bahasa roh dalam persekutuan doa ini sama dengan bahasa
roh dalam peristiwa Pentakosta dalam Kisah Para Rasul bab 2 ayat 1-13? Dalam
peristiwa Pentakosta itu disebutkan bahwa “Penuhlah
mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata
dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada
mereka untuk mengatakannya.” Mohon
dijelaskan pandangan Gereja Katolik tentang bahasa roh? Terima kasih atas penjelasannya.
Berkah Dalem.
Victorine – Surakarta
Sdri Victorine dan para pembaca Majalah
Salam Damai yang penuh sukacita. Anugerah berbahasa bermacam-macam pada
peristiwa Pentakosta adalah bahasa yang dapat dimengerti oleh orang-orang yang
berkumpul dari berbagai suku bangsa. Sedangkan Bahasa Roh yang ditanyakan
adalah bahasa yang berupa gumaman atau rangkaian kata yang muncul keluar tanpa
arti yang jelas dan tidak dapat dimengerti selain orang yang dikaruniai
menafsirkan Bahasa Roh. Maka antara yang terjadi pada peristiwa Pentakosta (Kis
2:1-13) berbeda dengan Bahasa Roh dalam Persekutuan Doa.
Rasul Paulus memandang bahasa roh sebagai
anugerah Roh Kudus (1 Kor 12:8-10. 28-30); bahasa roh adalah berkata-kata
kepada Allah, bukan kepada manusia. Karena dorongan Roh, seorang mengucapkan
hal-hal yang rahasia dan tak ada seorang pun yang mengerti. Maka Rasul Paulus
mengingatkan, bahasa roh perlu disertai “karunia untuk menafsirkannya” (1 Kor
14).
Rasul Paulus juga menegaskan bahwa dalam pertemuan jemaat, dengan syarat jika
ada yang menafsirkan, barulah bahasa roh boleh digunakan. Bahasa roh tak
dilakukan bersama-sama dalam kelompok, tetapi seorang demi seorang secara
bergantian, dan maksimal tiga orang (ay 27-28). Seruan Paulus ini membuat kita
mengerti alasan Gereja Katolik yang umum tidak menggunakan bahasa Roh.
Paulus sendiri mengharapkan semua murid
berbahasa roh (1 Kor 14:5), tetapi ia sadar bahwa Roh Kudus memberikan karunia
yang berbeda-beda kepada setiap orang (1 Kor 12:30). Maka tak mungkin
disimpulkan bahwa bahasa roh adalah tolok ukur keberhasilan doa atau
satu-satunya bukti terjadinya pencurahan Roh Kudus (bdk. Kis 8:15-17), atau
bahkan bukti kesucian. Tak adanya rujukan tentang bahasa roh dalam surat-surat
pastoral yang lain menjadi bukti atas hal ini. Tulisan para Bapa Gereja juga
mendukung kesimpulan ini.
Sikap rohani dasar adalah seperti yang
ditegaskan Rasul Yohanes yang mengatakan, “Janganlah percaya akan setiap roh,
tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah” (1 Yoh 4:1a).
Mengapa demikian? Karena gejala bahasa roh bisa berasal dari Roh Kudus, tapi
bisa juga dari roh jahat. Selain itu terdapat faktor manusia yang bisa
memalsukan, berpura-pura memperoleh bahasa roh. Lumen Gentium 12 menegaskan,
“Gereja Katolik mengajarkan bahwa penilaian akan otentisitas suatu karunia
karisma dan pengaturannya harus tunduk kepada karisma apostolik/rasuli yang
diberikan kepada Magisterium Gereja, agar karunia tersebut dapat diberdayakan
di dalam kesatuan seluruh Gereja.” Berkah Dalem. #
Tidak ada komentar