Kartini-Kartini Modern di Dalam Gereja
Bagi
Indonesia, April adalah bulan yang sangat penting. Tanggal 21 April 1879, RA
Kartini –feminis, tokoh emansipasi Indonesia— lahir. Pemikiran-pemikirannya
yang tertuang dalam surat-suratnya kepada sahabat-sahabat Belanda-nya,
yakni keluarga Abendanon dan Stella Zeehandelaar, melesat bak meteor melewati zamannya.
Tidak hanya soal emansipasi, melainkan juga tentang kemanusiaan, kebangsaan,
dan agama.
Kartini menjadi
simbol pembaharuan. Bahkan, 139 tahun setelah kelahirannya, pemikiran Kartini
tetap saja aktual. Persamaan hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, berorganisasi untuk mengekspresikan
kepentingan, dan melakukan pelayanan pada masyarakat, bukan lagi hal yang aneh
bagi perempuan di zaman sekarang. Sekalipun bukan berarti tak ada masalah sama
sekali.
![]() |
Floriana Ratna Dewijati |
Setidaknya itu yang
dirasakan Ratna Dewijati dalam statusnya sebagai pegawai negeri sipil, atau
istilah resmi sekarang, aparatur sipil negara. Saat ini dirinya menjabat
sebagai Sekretaris Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Tengah.
Ia mengawali kariernya sebagai staf Bappeda
Provinsi Jawa Tengah pada 1993. Sekretaris Bappeda (4,5 tahun) sempat ia emban
hingga 2012, sebelum ditugaskan di Biro Bangda (Pembangunan Daerah) Jawa
Tengah. Menyusul berikutnya tugas sebagai Kepala Bagian Kerjasama Luar Negeri
pada tahun 2016. Dan akhirnya jabatan Sekretaris Dinas Kominfo Jawa Tengah
diampu sejak 30 Desember 2016. ‘Berjuang dan
bertanggung jawab’ adalah kunci yang jadi
pegangannya selama menjadi pegawai negeri.
Dalam refleksinya, Ratna semakin menyadari
bahwa kepercayaan yang diberikan kepadanya itu karena ia telah berjuang untuk
mencapai nilai di atas rata-rata. Jika dirinya biasa-biasa saja seperti orang
kebanyakan, maka tanggung jawab atau jabatan yang lebih tinggi tak akan
dipercayakan kepadanya.
“Kita itu minoritas baik sebagai perempuan
maupun kristiani. Maka hanya satu jalan supaya kita diberi tanggung jawab
lebih, yaitu kita harus memiliki nilai plus dibanding yang lainnya,” ucap
Ratna.
Itu pula yang pernah dipesankan ibunya. “Merga kowe minoritas, mula nilaimu kudu di atas rata-rata,”
ungkapnya menirukan pesan sang bundanya.
Maka sebagai PNS, Ratna memacu diri supaya
bekerja di atas rata-rata atau bekerja lebih berkualitas, dengan loyalitas dan
integritas yang tinggi. Hal ini juga ia sampaikan kepada kepada sesama PNS
seiman.
Hal serupa juga dinasehatkan kepada ketiga
puterinya, “Kalian
perempuan. Zaman sekarang itu perempuan sama dengan laki-laki. Maka janganlah
manja jadi perempuan, harus mandiri. Perempuan
itu harus maju. Terlibatlah dalam kegiatan dan organisasi untuk mengembangkan diri.”
![]() |
AKP Bernadetta Dewi Endah Utami, SH, SIK |
Mengabdikan diri
kepada negara sebagai polisi telah menjadi cita-citanya sejak belia. “Selain
karena dorongan orangtua, sejak muda saya sudah bercita-cita menjadi seorang
polisi. Maka sebelum pengumuman lulus SMA saya sudah mendaftarkan di Akpol
(Akademi Kepolisian-red.) Semarang,” ujar wanita berdarah Jawa-Ambon yang
dibesarkan di tanah Papua ini.
Sejak awal Dewi
sangat menyadari, kariernya di instansi kepolisian adalah kehendak Tuhan. Ia
pun bercerita, bahwa sejak seleksi di Polda Papua ada sekitar
100 pemudi namun yang lolos untuk menjalani tes di Akpol
Semarang hanya dua, termasuk dirinya.
“Dari dua utusan Polda Papua, hanya saya yang
diterima untuk menjalani pendidikan di Akpol. Dan saya percaya ini sebagai
kehendak dan anugerah dari Tuhan,” ucap umat Paroki St Athanasius Karangpanas
Semarang ini.
Tahun 2004 bersama 29 taruni dan 270 taruna, Dewi menjalani
pendidikan di Akpol. Meski tak mudah, empat tahun
pendidikan di Akpol dijalaninya dengan sukacita. Tempaan fisik, mental dan
akademis yang tak ringan, tak sedikitpun membuatnya untuk mundur dari Akpol.
Akhirnya tahun 2007, Dewi boleh lega ketika dilantik menjadi seorang perwira pertama berpangkat Ipda (Inspektur Dua).
Polda Bali menjadi
daerah pertama ia berkarya sebagai polisi di jajaran Ditlantas (Direktorat Lalu
Lintas). Dan guna mendukung kariernya, ia menuntut ilmu di Fakultas Hukum dan
berhasil meraih gelar Sarjana Hukum. Tak berhenti di situ. Melihat
kecemerlangan akademisnya, institusi Polri menugaskannya belajar di PTIK
(Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) di Jakarta, hingga berhasil menyandang gelar
Sarjana Ilmu Kepolisian (SIK).
Kini AKP Dewi
ditugaskan di almamaternya Akpol Semarang untuk mendampingi para taruni tingkat
IV sebagai pengasuh. Ia bersyukur diberi
kesempatan untuk mengabdi pada almamater tercinta untuk membina dan mendidik
para taruni/taruni Akpol yang kelak akan memegang tongkat kepemimpinan Polri.
“Saya bersyukur
dengan tugas di Akpol saya bisa berkumpul dengan suami dan anak di Semarang;
itulah doa saya. Karena biasanya lulusan baru PTIK mendapat tugas
di luar pulau Jawa. Rupanya Tuhan menghendaki saya
berkumpul dengan keluarga,” ucap isteri dari Bastian
Jopi Rian Mandagi.
Sebagai seorang polisi, Dewi menggantungkan cita-citanya setinggi
mungkin. Ia pun bercita-cita sebagai Kapolri (Kepala Polisi Republik
Indonesia). Apa tidak ketinggian? “Sebagai seorang polisi saya harus memberikan
yang terbaik dan memiliki cita-cita tertinggi. Di institusi Polri, menjadi
Kapolri lah pangkat yang tertinggi,” ujarnya seraya tersenyum lebar.
Sikap Gereja terhadap Emansipasi
Dalam peziarahan pelayanan pastoralnya Gereja Keuskupan Agung Semarang memiliki landasan lima tahunan berupa Arah Dasar
Keuskupan Agung Semarang (Ardas -KAS). Pada Ardas-KAS periode 2006 – 2010, terdapat hal yang menarik, yang
terungkap dalam alenia berikut:
”Untuk
mendukung upaya tersebut, umat Allah Keuskupan Agung Semarang mengembangkan
pola penggembalaan yang mencerdaskan
umat beriman, melibatkan perempuan dan
laki-laki, memberdayakan paguyuban-paguyuban pengharapan, memajukan
kerjasama dengan semua yang berkehendak baik, serta melestarikan keutuhan
ciptaan” .
Secara khusus
kata-kata yang menarik adalah dengan ‘melibatkan perempuan dan laki-laki’. Dan, kata
‘perempuan’ didahulukan daripada ‘laki-laki’. Kebetulan atau sengaja?
Ternyata, ada
peristiwa panjang yang melatarbelakangi penempatan kata ‘perempuan’ tersebut
dalam diskusi lebih lanjut. Pada Ardas KAS 2001-2005,
keberpihakan Gereja terhadap keterlibatan kaum perempuan belum ditampakkan. Maka, pada periode berikutnya sungguh
disadari perlunya bahwa usaha Gereja untuk secara eksplisit
mengajak kaum perempuan untuk terlibat dalam gerak kehidupan Gereja.
Pertama, Gereja
KAS mulai semakin peduli dengan keberadaan kaum perempuan. Gereja mengajak kaum perempuan untuk
sungguh-sungguh terlibat dalam gerak pastoral Gereja melalui segala kemampuan
yang dimiliki demi semakin berkembangnya reksa pastoral Gereja.
Hal ini menjadi angin segar bagi kaum perempuan,
paling tidak ada pintu yang dibuka semakin lebar bagi kaum perempuan untuk
terlibat dalam kehidupan Gereja. Banyak kaum perempuan yang memiliki kemampuan
pribadi. Sumbangan kaum perempuan dalam bidang-bidang kehidupan secara khusus
dalam kehidupan menggereja harus senantiasa diakui dan dihargai.
Kedua, pada level
praksis gerak Gereja -sebut saja
ketika ada pertemuan-pertemuan umat misalnya latihan koor, misa atau ibadat di
lingkungan, pendalaman APP, Adven, BKSN, doa rosario, ziarah dll.- kaum perempuan banyak terlibat di dalamnya.
Keaktifan kaum
perempuan tidak diragukan lagi dalam acara-acara liturgis di
lingkungan-lingkungan. Fenomena aktif kaum perempuan ini bisa menjadi titik
pijak bagaimana keterlibatan kaum perempuan itu sungguh-sunguh dihargai mulai
dari tingkat lingkungan sampai pada wilayah Gereja semesta.
Hal yang perlu dipaparkan lebih lanjut antara lain: Bentuk
keterlibatan yang macam apa yang diharapkan oleh Gereja dari kaum perempuan?
Tokoh-tokoh teladan seperti apa yang
bisa menginspirasi keterlibatan kaum perempuan dalam Gereja?
Beragam jawabnya.
Sebagaimana terungkap dalam lokakarya Ardas 2017, apresiasi terhadap kaum
perempuan penginspirasi perlu diberikan pada mereka yang mendapat kepercayaan
pada level keuskupan hingga kevikepan, serta tokoh-tokoh dari kelompok kategorial. Dalam hal ini termasuk para katekis, tokoh
yang terlibat dalam sosial kemasyarakatan, pelayanan karitatif, keadilan dan
perdamaian.
Kesempatan Pelayanan di Gereja
![]() |
Dr. MM. D. Hapsari, Sp. AK |
Selain sebagai dokter anak RS dr Kariadi dan RS St Elisabeth Semarang,
Dokter Hapsari juga tercatat sebagai pengajar bagi mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Belum lagi praktek klinik
anak yang setiap sore ia buka di rumahnya.
Namun mengapa isteri dari dokter E Nindyawan Waluyo
Adi, Sp.B, FINACS (direktur RS St Elisabeth) ini masih memberi waktu bagi Tuhan
sebagai pekerja-Nya? “Saya tergugah untuk ambil bagian dalam pelayanan Gereja,
ketika saya membaca renungan harian yang tiap hari saya baca. Firman-firman
Tuhan tersebut menyadarkan saya, pentingnya melayani bidang kerohanian. Harus
ada keseimbangan berkarya untuk kedagingan dan kerohanian,” tutur umat Paroki
St Athanaius Agung Karangpanas
Semarang ini.
Lalu mengapa menjadi
prodiakon? Hapsari mengakui, bahwa dirinya memiliki passion untuk mengajar. Ia
paling senang jika berbicara. Pengalaman sebagai pengajar di FH Undip
mendorongnya untuk memberanikan diri menjadi prodiakon. Karena menjadi
prodiakon itu salah satu tugasnya memberikan renungan dan homili.
Maka, atas usulan umat
Lingkungan, ia dipercaya menjadi prodiakon. Bersama prodiakon lainnya ia
dilantik menjadi Prodiakon Paroki Karangpanas pada tahun 2014. Dan tahun 2018,
merupakan periode II ia sebagai prodiakon.
Dengan keterlibatannya
dalam pelayanan Gereja, Hapsari kemudian mulai belajar untuk membagi waktu,
antara tuntutan sebagai dokter dan sebagai prodiakon. Ia pun komitmen dalam
waktu supaya bisa menjadi prodiakon yang baik.
“Jika tugas prodiakon
menuntut waktu saya, seperti gladi bersih untuk Paskah, maka praktek klinik
saya akan saya tutup,” tegas Hapsari.
Berbicara tentang
pelayanan, Hapsari rindu untuk melayani untuk di bidang keluarga, khususnya
kursus perkawinan. Karena ilmu tentang anak, tentunya bisa ia berikan kepada
calon-calon orangtua. Selain itu, ia berharap bila sudah pensiun dari dinas ia
ingin mengabdikan diri di Lingkungan atau Wilayah dimana ia tinggal.
Apa yang dilakukan oleh
Hapsari rupanya didasarkan pada firman Tuhan yang menjadi mottonya: “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan
kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33).
Memang, dalam hal melayani Gereja dibutuhkan kesukarelaan
yang tinggi dari umat. Kalau umat tidak mau, lalu siapa yang melakukannya? Pertanyaan itu selalu menjadi
penguat bagi Lusia
Rini Sulistyowati, satu dari dua orang perempuan yang menjadi
Ketua Lingkungan di Paroki Santa Maria Bunda Kristus Wedi, Kabupaten Klaten.
Paroki Wedi terdiri dari 34 lingkungan dan 5 wilayah. Saat ini, Rini menjadi
Ketua Lingkungan Santo Thomas Kutu.
Lusia Rini Sulistyowati |
Perempuan kelahiran Klaten, 16 Desember
1977 ini menyatakan, motivasi dia mau menjadi Ketua Lingkungan dan pengurus
lainnya itu amat sederhana. “Kalau semua umat tidak mau menjadi
pengurus, semua umat enda (mengelak),
lalu siapa yang akan menjadi pengurus? Siapa yang akan menggembalakan umat?
Maka, kalau bukan kita, lalu siapa?” tanya istri Yusup Harsanto ini.
Ibu yang memiliki usaha warung kelontong
ini bersyukur karena keluarganya, terutama suaminya sangat mendukungnya dalam
menjalani tugas pelayanan sebagai ketua lingkungan. Sebuah tugas pelayanan yang
tidak mudah dan membutuhkan banyak “pengorbanan”.
Warga Dukuh Kutu, Desa Sumyang, Kecamatan
Jogonalan ini mengatakan, hampir semua bidang pelayanan di Gereja bisa digeluti
perempuan. “Saya berharap, ke depan, akan semakin
banyak perempuan yang terlibat dalam pelayanan di Gereja,” harap pengelola
Tabungan Cinta Kasih Paroki Wedi ini.
Pelayanan Katekis
Berpartisipasi dalam pelayanan di Gereja juga dilakukan
oleh Agustina
Sumarsih. Guru Agama
Katolik SD itu terlibat sebagai
katekis di Paroki Santa Maria Bunda Kristus Wedi Kabupaten Klaten
sejak tahun 1984.
Agustina Sumarsih |
Bahkan, Guru Agama Katolik di SD Negeri 1
Ceporan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten ini pernah menjadi Ketua Bidang
(Kabid) Pewartaan dan Evangelisasi Paroki Wedi. Sampai saat ini, Sumarsih masih
dipercaya untuk mendampingi para calon penerima Komuni pertama di Paroki Wedi.
Lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG)
Ketapang, Kalimantan Barat ini menyatakan, motivasi yang mendorong dia untuk
aktif sebagai katekis itu karena panggilan Tuhan.
“Saya
ingin mempersembahkan hidup dan penghidupan saya kepada sesama dan Gereja.
Caranya, dengan memberikan waktu, tenaga, pikiran, dana, dan sebagainya untuk
sesama yang membutuhkan sesuai dengan kemampuan yang saya miliki. Bahkan, hampir
setengah dari waktu saya di rumah, saya gunakan untuk mengajar agama,” kata ibu dua anak ini.
Umat Lingkungan Santo Yusup Kaporan Paroki
Wedi itu menyampaikan, selama ini, Gereja memberi kesempatan kepada perempuan
untuk terlibat dalam pelayanan. Kesempatan untuk terlibat dalam pelayanan itu
dibuka sangat lebar oleh Gereja. Hanya sayangnya, sebagian dari perempuan
Katolik belum
menaggapinhya.
Keterlibatan dalam pelayanan Gereja sebagai katekis juga dilakukan oleh Lusia Ekaningsih dari Paroki St Maria Fatima Magelang. Ia terlibat sebagai
katekis sejak tahun 2005 ketika masih berada di paroki Hati Kudus Yesus Tanah
Mas Semarang.
![]() |
Lusia Ekaningsih |
Panggilan sebagai
katekis sudah ia rasakan sejak saya SMA. Benih ini terus
tumbuh ketika saya kuliah, mengambil jurusan kateketik. Banyak hal yang
memotivasinya menjadi seorang guru agama katolik. Yaitu
ingin terlibat melayani Tuhan dan sesama lewat peran sebagai katekis.
“Saya
ingin membalas cinta Tuhan yang begitu besar pada saya melalui karya ini.
Mempersiapkan para calon penerima sakramen inisiasi itu hal yang menyenangkan. Ada
tantangan tersendiri, yaitu bagaimana saya meyakinkan pada mereka yang belum
mengenal Kristus, siapa Kristus itu. Di situ saya sendiri harus lebih mengenal
dan mencintai Kristus terlebih dulu,” tuturnya.
Menurutnya, sangat besar
peran Gereja mendorong perempuan terlibat. Banyak katekis wanita yang ikut
mengajar, banyak prodiakenes, lektris . artinya Gereja disini memberi peranan
bagi kaum perempuan untuk turut terlibat dalam karya pelayanan gereja.
Bidang pelayanan
yang bisa digeluti perempuan yaitu bidang kerygma (pengajaran), liturgia
(pemimpin ibadat atau pemandu lingkungan), pendamping PIA/PIR. “Perempuan
lebih ‘keibuan’ dalam
melayani. Lebih telaten dan sabar,” tutur Lusia.
Fransiska
Oktivia Astuti terlibat aktif dalam kegiatan Gereja sejak kuliah di
tahun 2008. “ Saya mendampingi anak calon komuni pertama
di Stasi Pojok, kadang-kadang juga mendampingi calon baptisan. Setelah itu,
saya mulai aktif juga di Paroki St Petrus dan Paulus Klepu,” ujarnya.
Fransiska Oktivia Astuti |
Bagi Via, panggilan
Fransiska Oktavia, menjadi katekis merupakan sesuatu yang unik. Ketika
SMA tidak ada keinginan untuk menjadi guru agama. Ia mengaku, pada awalnya ada
tuntutan dari dosen untuk aktif di paroki. Tetapi berawal dari tuntutan
tersebut lama-lama ia menemukan sebuah panggilan untuk terus melayani Tuhan dan
sesama.
Saat ini, Via menjadi guru agama di empat
sekolah menengah negeri di daerah Sleman. Keinginannya menjadi katekis termotivasi oleh anak-anak. Ia merasa
bahwa jumlah katekis hanya sedikit sedangkan anak-anak yang harus didampingi
banyak. Ketika dekat dengan anak-anak,ia mengaku merasa
bahagia.
“Ketika saya merasa lelah untuk melayani
di gereja kemudian melihat anak-anak,
rasanya trenyuh dan ingin kembali
lagi. Rasanya ada suatu kerinduan pada anak-anak untuk melayani,” ucapnya.
Bagi Via, semua bidang pelayanan di Gereja
bisa digeluti oleh perempuan. Tergantung
masing-masing perempuan dalam menanggapinya. Yang
paling penting adalah memiliki kemauan untuk terlibat dalam pelayanan, sehingga
Gereja sungguh-sungguh hidup dan makna Gereja sebagai paguyuban dapat terwujud.
“Gereja bukan hanya sebagai bangunan tetapi sebagai umat Allah, dari kita,
untuk kita, dan oleh kita,” ujarnya.
Jaringan
Kodok
Bagi anggota
kelompok-kelompok doa yang tergabung dalam Jaringan Persaudaraan Antar Kelompok
Doa (Jaringan Kodok / Jarkod) Keuskupan Agung Semarang, nama Margaretha Sri Setiawati Purwita bukanlah hal yang asing. Dialah wakil
ketua Jarkod KAS untuk dua periode ini. Tetapi sesungguhnya
Rita, panggilannya, tak pernah
mengira dirinya kini bisa turut melayani umat KAS lebih luas.
![]() |
Margaretha Sri Setiawati Purwita |
Jalanmu bukanlah
jalan-Ku. Begitulah firman Tuhan dalam kitab Yesaya (55:19). Perjalanan Rita
pun terpuruk setelah sang suami dipanggil Tuhan, tepat 18 tahun usia
berkeluarga. Ekonomi keluarga tergoncang. Apalagi dokter menyarankan ia minum
beberapa obat karena kesehatannya kurang bagus.
Ia tak tahu harus
berbuat apa. Namun, entah mengapa ia pergi ke Pertapaan Rawaseneng. Oleh rama
yang membimbingnya ia diajak untuk menyerahkan semuanya kepada Tuhan.
“Percayalah kepada Yesus, karena Ia akan menuntun umat-Nya ke tempat yang
indah. Percayalah Ibu akan diselamatkan,” ucap Rita menirukan sang imam.
Tak lama
berselang, teman di paroki mengajaknya untuk terlibat sebagai pengurus APP
Paroki. Inilah awal ia terlibat melayani Gereja. Dari sinilah Rita semakin
terlibat di Gereja dan semakin mencintai firman Tuhan. Ia juga bergabung dengan
paguyuban doa St Thomas. Dari sini ia semakin luas melayani.
“Perkenalan saya
dengan Jarkod dimulai ketika ia diminta untuk menjadi membantu sebagai
sekretaris Jarkod. Dan keterlibatan di Jarkod semakin mendalam ketika Rama
Sugiana ketua Komisi Liturgi KAS supaya saya terlibat semakin mendalam di
Jarkod, sampai akhirnya saya diminta untuk menjadi wakil ketua Jarkod,” tutur umat
Paroki St Paulus Sendangguwo Semarang ini.
Seiring dengan
pelayanannya, Tuhan memberikan berkat pekerjaan. Lambat laun situasi ekonominya
kian pulih, bahkan berkembang. Rita pun kian bersemangat dalam melayani Tuhan.
Aktivis Organisasi Perempuan
![]() |
MM Nunung Purwanti |
Dalam pandangannya,
peran
perempuan dalam Gereja di Keuskupan Agung Semarang (KAS) boleh dikata belumlah
maksimal. Peran perempuan masih di seputar altar, domestis sekali. Misalnya,
mengurusi 'dahar romo', menata bunga altar, ataupun kegiatan-kegiatan di
paguyuban ibu-ibu di paroki yang terbentuk dalam Gereja-gereja. Meskipun
beberapa Gereja sudah tampak memberi ruang yang luas untuk perempuan agar bisa
ambil peran yang lebih, tidak domestis.
“Namun
sepertinya perempuan sendiri juga telah terkungkung pandangan yang sangat
tradisional dan patriakh yang membuatnya enggan melangkah lebih jauh. Katekis
perempuan misalnya, biasanya karena dilatarbelakangi dia sebagai guru
agama di sekolah-sekolah. Di Dewan Paroki
pun, biasanya bukan posisi ketua komisi misalnya, apalagi mengambil kebijakan
di pengurus inti,” tuturnya.
Persoalan yang
lain, tuturnyam, gereja-gereja tidak sama kondisi
dan kebijakannya terkait dengan perempuan. Artinya peran perempuan dalam Gereja
seringkali masih ditentukan oleh sudut pandang
laki-laki.
“Contoh
sederhana, ternyata banyak Gereja/Paroki yang belum
bisa menerima kehadiran Wanita Katolik RI. Sekadar nunut ruang untuk pertemuan saja sering ditolak. Padahal ini tugas
Gereja untuk ikut bertanggung jawab akan keberadaan kelompok, ormas, paguyuban
dan yang lain yang berlabel katolik. Peran-peran di luar mindstream, belum bisa diterima ternyata. Tapi ini perjuangan,” kata Nunung Purwanti.
Apa kekhasan peran
perempuan dalam Gereja? Dalam
katekismus, menurut dia, kita diajarkan bahwa laki-laki dan perempuan sama martabatnya
dalam ciptaan, sesuai citra Allah. Mempunyai kedudukan yg sama dalam
keselamatan.
Artinya dalam
konteks pelayanan, punya peran yang sama juga. Bukan
berdasar jenis kelamin, tapi kapasitas dan pilihan yang menjadi pertimbangan.
Sementara peran khas perempuan dalam gereja selama ini masih sangat tradisional
dan domestis. Peran khas perempuan masih merujuk pada peran by design laki-laki.
Sesunggunya, perempuan
bisa memberi sumbangsih pada gereja sama besar peluangnya dengan laki-laki.
Paus Fransiskus menekankan pentingnya perempuan dalam gereja. Perempuan sendiri
perlu diberi peluang dan ruang agar mampu mengembangkan kapasitasnya. Hal yang
juga disadari oleh Paus Yohanes II, bahwa perempuan menuntut peran yang sama
seperti babtisan yang lain dan sebagai murid Yesus, bertanggung jawab sebagai
nabi, imam dan raja.
“Saya
menyadari bahwa tradisi teologis katolik masih tradisional (Yudaisme), memberikan
gambaran Allah yang patriakh. Yesus sendiri merombak konsep tentang Allah.
Allah yang tidak diskriminatif, Allah yang berwajah 'Bapa dan Ibu'. Harapan
kedepan apa yang diajarkan Yesus dapat dimaknai gereja dengan pas. Memberi
ruang dan dorongan pada perempuan untuk melaksanakan tugas perutusan yang sama
dengan babtisan yang lain,” tutur Ketua WKRI Jateng itu.
![]() |
Veronica Silvania Susanti |
Menurutnya, perlu ada sebuah refleksi atas citra perempuan
dalam Gereja Katolik. “Kami kaum perempuan menyadari sistem
patrilineal yang masih berlaku dan sulit untuk mendobrak tradisi itu. Tidak hanya di lingkup Gereja, sistem itu juga mempengaruhi tata kehidupan
masyarakat di negara ini.”
Tapi kondisinya makin
berubah secara evolutif. Di lingkup Gereja, khususnya di lingkungan Gereja KAS,
keterlibatan dalam pelayanan Gereja terbuka luas. Banyak perempuan menjadi Prodiakon,
Ketua Bidang, Ketua Wilayah, maupun Ketua Lingkungan. Tidak
ada dominasi tertentu, seperti misalnya
tugas ini harus dilaksanakan laki-laki, tugas itu oleh perempuan.
“Jadi sepenuhnya tergantung kemauan kita para perempuan
untuk terlibat dalam pelayanan Gereja,” tuturnya.
Di Gereja, khususnya di Gereja-Gereja
Keuskupan Agung Semarang, wajah Kartini tampak juga. Sebagian masih
samar-samar, sebagian lainnya tampak sangat jelas. Selamat mensyukuri
emansipasi. ***marcelinus tanto pr, warih, sukamta,
anton, elwin, anto
Tidak ada komentar