Wagito Pastor Wurung

Kegagalan Kedua
Anak sulungnya Nurhandono merealisasikan cita-cita ayahnya menjadi pastor. Masuklah Nurhandono ke seminari Mertoyudan. Memasuki masa novisiat, ia menjatuhkan pilihannya kepada tarekat Jesuit. Sebagai seorang novis calon pastor Jesuit di Ungaran, Jawa tengah, Nurhandono tekun menjalankan tugasnya dengan baik.
Wagito yang waktu itu sedang menjalani tugas khusus atas permintaan Bapa Uskup Purwakerto, menjadi katekis di sebuah stasi, mendapat kabar bahwa Frater Nurhandono meninggal dunia mendadak. Wagito syok berat. Harapannya memiliki anak seorang pastor gagal. “Ini kegagalan yang kali kedua setelah dirinya,” katanya. Akhirnya, Jenasah Fr. Nurhandono oleh tarekat disarankan dikebumikan di makam para pastor Jesuit di Ungaran.
Ujian Belum Berakhir
Anak kedua, seusai lulus SMA Debritto, Yogyakarta, Theodotus Dwi Hantoro mendaftarkan diri ke seminari. Namun, tidak diterima di seminari Dwi memutuskan belajar di Pusat Musik Liturgi (PML) Kotabaru, Yogyakarta. Kemudian Dwi memutuskan merantau ke Jakarta Utara, menjadi guru musik di sebuah institusi pendidikan. Dwi Nurhantoro juga seorang supranatural. Pintar menerawang hal-hal yang belum terjadi. Tetapi dalam waktu relatif singkat, penglihatan mata Dwi turun drastis. Tidak bisa lagi melihat sebagaimana mata normal alias mengalami kebutaan.
Wagito geleng kepala sambil bergumam, “Kapan ujian ini akan berakhir?” tanyanya dalam hati. “Begitu bencikah Tuhan kepadaku?” lanjutnya. Bukan Wagito kalau menyerah. Justru dengan salib yang begitu berat di pundaknya ia semakin bersemangat memuliakan nama-Nya. Tidak mau protes kepada Tuhan. Semua penderitaan dan ujian diterima dengan penuh syukur. Bahwa hidup pada prinsipnya adalah: “mung sadermo nglakoni” katanya. Wagito meyakini bahwa, hidup adalah semata-mata anugerah. #Herman JP
Tidak ada komentar