Temu Pastoral 2017 OMK dalam Multikultural

Mengawali tahun 2017,
Dewan Karya Pastoral (DKP) Keuskupan Agung Semarang menyelenggarakan Temu
Pastoral (Tepas) untuk belajar dan merancang program pelayanan satu tahun
sesuai Arah Dasar 2016-2020 dan RIKAS 2016-2035. Tema Tepas kali ini adalah ‘Mengembangkan Pastoral Orang Muda yang
Bergairah di Tengah Masyarakat Multikultur’.
Sejak 2017 ini, Tepas
diadakan di Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan (PPSM) dan terbagi dalam 4
gelombang: Kevikepan DIY diikuti 155 peserta (9-11/1), Surakarta 147 peserta
(11-13/1), Kedu 94 peserta (16-18/1) dan Semarang 112 peserta (18-20/1).
Ada tiga pemaparan dalam
tepas ini. Pertama dari Komisi Kepemudaan KAS dan Komisi Kerasulan Mahasiswa yang
membahas ‘Realitas dan Idealitas Orang
Muda’. Sesi ini mengajak OMK untuk
memandang multikulturalisme sebagai peluang dan bukannya ancaman. Sejumlah OMK
bersaksi bahwa mereka mampu hidup bersama dalam keberagaman budaya, suku, dan
agama. Namun ada pula yang mengalami situasi kurang nyaman ketika berdampingan
dengan masyarakat beragam budaya.
Pemapar kedua Rama
Yohanes Dwi Harsanto Pr berbicara tentang ‘Pedoman
Pastoral Orang Muda KWI’. Ia mengatakan, karya pastoral Orang Muda
hendaknya menggarap lima bidang, yaitu katolisitas-spiritualitas, kepribadian,
kemasyarakatan, kepemimpinan-organisasi, dan intelektualitas-profesionalitas.
“Untuk itu, umat
dipanggil menjadi pembina OMK yang menjalankan tugas sebagai penggerak,
pendamping, dan pemimpin. Para pembina OMK dituntut memelihara keseimbangan
jiwa raga, gaya hidup sehat, dan memiliki relasi yang intim dengan Tuhan. Maka
dari itu, para pembina OMK pun memerlukan pembekalan terlebih dahulu,” ujarnya.
Kritik
Dosen UIN
Sementara itu pemateri
berikutnya adalah Suhadi Cholil (dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Ia menyatakan,
di Indonesia, identitas agama masih dianggap kuat untuk masa depan, termasuk bagi
kaum muda. Ia juga mengkritisi umat Katolik yang cenderung diam saat terjadi
hal-hal yang mengancam kebhinekaan di Indonesia.
Suhadi mengatakan, “Ada empat
tantangan dalam membangun multikulturalisme, yaitu fundamentalisme,
ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Umat Islam Indonesia yang radikal
hanya ada 0,4%. Sedang 7% yang bersedia radikal, 19,8% tidak punya sikap, dan
72% atau sekitar 108 juta muslim Indonesia tidak bersedia radikal.”
Tambahnya, “Itu berarti,
Gereja diharapkan bekerja sama dengan umat yang 72% tersebut supaya mereka yang
19,8% (tidak punya sikap) tadi tidak mengikuti yang radikal. Gereja hendaknya
membuka diri, mendorong generasi muda membangun ruang interaksi dalam
kemajemukan, menemukan kembali pengikat multikultur, dan mengaktivasi
gerakan-gerakan persaudaraan antar-agama.”
Keseluruhan rangkaian
Temu Pastoral 2017 ini ditutup dengan peneguhan dari Adminsitrator KAS Rama FX
Sukendar Pr. # Anton Wijayanto
No comments